A. Pengertian Budaya Politik
Pengertian Budaya Politik
dan Tipe Budaya Politik. Secara sederhana budaya politik dapat digambarkan
sebagai pengetahuan, keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang atau masyarakat
terhadap proses politik. Proses politik terutama pada proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan publik. Seperti diketahui hakekat politik adalah kekuasaan.
Fokus kekuasaan politik
adalah pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik. Bagaimana proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan publik dapat dipahami dari kerja sistem politik yang dikembangkan
oleh suatu negara.
Bagaimana sistem politik itu
bekerja? Sistem politik itu bekerja untuk melakukan proses merubah input
(masukkan berupa tuntutan dan dukungan dalam proses pembuatan kebijakan publik)
yang berasal dari infra struktur politik (lembagai politik masyarakat, misal :
partai politik, kelompok kepentingan, pers, tokoh masyarakat, dan rakyat)
menjadi out-put (kebijakan publik) yang diputuskan oleh supra struktur politik
(lembaga negara) yakni legislatif. Kemudian eksekutif yang melakukan peran
sebagai pelaksana penerapan kebijakan publik dan yudikatif yang berperan
sebagai penegakkan kebijakan publik atau penghakiman terhadap peraturan
perundang-undangan.
Dengan kata lain budaya
politik merupakan pengetahuan, keyakinan, sikap, dan perilaku (peran) seseorang
atau masyarakat terhadap sistem politik negaranya. Dengan demikian secara
sederhana dapat digambarkan bahwa yang membedakan sesuatu itu termasuk dalam
pengertian budaya politik atau bukan, terutama terletak pada sasaran/obyek
budaya itu sendiri. Jika sasaran itu berupa proses politik atau sistem politik,
maka merupakan budaya politik. Apabila sasaran itu berupa sesuatu yang bersifat
non-politik, maka bukan masuk dalam budaya politik. Meskipun hal-hal yang
non-politik dapat berpengaruh terhadap perilaku politik (dibahas dalam bagian
berikutnya mengenai sosialisasi politik). Begitu pula sebaliknya hal-hal yang
bersifat politik akan berpengaruh kepada hal-hal yang non politik.
Berikut ini dicontohkan
pengertian budaya politik menurut Larry Diamond, ahli politik yang menekuni
tentang perkembangan demokrasi. Diamond dengan memperhatikan perkembangan
penelitian mengenai budaya politik yang dirintis oleh Almond & Verba, sampai
pada kesimpulan bahwa budaya politik sebagai keyakinan, sikap, nilai, ide-ide,
sentimen, dan evaluasi suatu masyarakat tentang sistem politik nasionalnya dan
peran dari masing-masing individu dalam sistem itu. Komponen budaya politik
dikalsifikasikan menjadi 3 orientasi yaitu : orientasi kognitif yang meliputi
pengetahuan dan keyakinan – keyakinan tentang sistem politik, orientasi afektif
yang terdiri dari perasaan – perasaan mengenai sistem politiik, dan orientasi
evaluasi yang meliputi komitmen pada nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan
politik (dengan menggunakan informasi dan perasaan) tentang kinerja dari sistem
politik terhadap nilai-nilai itu.
Contoh, orientasi kognitif
antara lain pengetahuan tentang : Pemilu/Pilkada, partai politik, fungsi
DPR/DPRD, DPD, MPR, BPD. Contoh orientasi kognitif yang berupa keyakinan terhadap
sistem politik antara lain: keyakinan bahwa Pemilu/Pilkada, partai politik,
pers yang bebas, parlemen merupakan lembaga yang harus ada bagi sistem politik
demokrasi.
Contoh orientasi afektif,
misalnya perasaan optimis bahwa Pilkada langsung dapat memperoleh kepala daerah
yang lebih berkualitas dan lebih dekat dengan rakyat, dan mengurangi money
politics (jual-beli suara) ketimbang Pilkada tidak langsung (dipilih oleh
DPRD). Sedangkan contoh orientasi evaluatif, misalnya: komitmen untuk mendukung
pelaksanaan Pilkada langsung sesuai dengan aturan main, komitmen untuk
memberikan suaranya dalam Pilkada langsung.
Ketiga orientasi tersebut,
dalam realitas merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Maksudnya
kemampuan seseorang dalam memberikan penilain terhadap sistem politiknya, akan
dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki sebelumnya mengenai
sistem politiknya. Ketiga orientasi budaya politik itu juga merupakan penentu
perilaku politik seseorang. Apakah perilaku politik bersifat demokratis atau
otoriter sangat dipengaruhi oleh orientasi kognitif, afektif dan evaluatif
terhadap sistem politik. Dalam hal ini Almond dan Verba, menyatakan bahwa
budaya politik merupakan pengetahuan, sikap dan penilaian terhadap sistem
politik menjadi salah satu penentu perilaku politik. Misalnya, seseorang yang
kalah dalam pemilihan kepala desa/bupati/wali kota menerima kekalahan itu
dengan tulus. Ia menilai bahwa pemilihan itu telah dilaksanakan secara bebas,
jujur dan adil, dan adanya persaingan atau kompetisi yang sehat. Perilaku calon
yang kalah tersebut, masuk dalam sikap dan perilaku budaya politik demokrasi.
Sebaliknya jika calon yang kalah tidak menerima kekalahan itu, kemudian karena
kecewa menggerakkan masa untuk memukuli para pendukung calon kepala
desa/bupati/wali kota terpilih, jelas ini bukan merupakan perilaku dari budaya
politik demokrasi tetapi merupakan perilaku dari budaya politik otoriter.
Dengan demikian, budaya politik itu sebenarnya merupakan cermin dari
pengetahuan, sikap dan penilaian yang yang dapat bersifat positif atau negatif
terhadap sistem politik. Karena sistem politik yang dianut oleh suatu negara
secara sederhana dapat digolongkan kedalam sistem politik demokrasi atau
otoriter, maka budaya politik itu bisa bersifat demokratis atau otoriter.
Gambaran tentang budaya politik demokrasi lebih mudah dipahami ketika
dibandingkan dengan nilai-nilai budaya politik otoriter.
B.
Tipe – tipe Budaya Politik yang Berkembang dalam Masyarakat Indonesia
Almond dan Verba mengajukan
tiga tipe budaya politik yang berkembang dalam suatu masyarakat/ bangsa , yaitu
tipe parohial (awak), subjek (kaula), dan partisipan.
1) Tipe budaya politik
parohial
Orang/masyarakat
yang bertipe budaya politik parohial bercirikan tidak memiliki
orientasi/pandangan sama sekali, baik berupa pengetahuan (kognisi), sikap
(afeksi) dan penilaian (evaluasi) terhadap objek politik (sistem politik). Ini
berarti yang bersangkutan bersifat acuh tak acuh terhadap objek politik. Objek
politik yang paling utama adalah pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Contoh objek politik yang lain adalah pemilihan Kepala Desa, pemilihan anggota
BPD, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota), pemilu DPRD,
DPR, DPD dan Presiden, partai politik, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan
pers, dst. Tetapi meskipun tidak/kurang peduli terhadap objek politik,
orang/masyarakat yang bertipe budaya politik parohial, tetap peduli terhadap
nilai-nilai primordial seperti adat istiadat, etnis dan agama.
2) Tipe budaya politik
subjek .
Sedangkan
orang/masyarakat yang bertipe budaya politik subjek, bercirikan memiliki
orientasi terhadap output (hasil/pelaksanaan kebijakan publik) yang sangat
tinggi, tetapi orientasi terhadap input (pembuatan kebijakan publik) dan
terhadap diri sendiri sebagai aktor politik sangat rendah. Ini berarti dalam
tipe budaya politik subjek, kepatuhan/ketaatan yang tinggi terhadap berbagai
peraturan pemerintah tetapi tidak disertai sikap kritis (menunjukkan kelemahan
dan kekuatan/kebaikan suatu peraturan). Dengan kata lain peran yang dilakukan
bersifat pasif.
3) Tipe budaya politik
partisipan.
Kemudian
tipe budaya politik partisipan, bercirikan di mana seseorang/masyarakat
memiliki orientasi terhadap seluruh obyek politik secara keseluruhan (input,
output) dan terhadap diri sendiri sebagai aktor politik. Ini berarti
seseorang/masyarakat bertipe budaya politik partisipan disamping aktif
memberikan masukkan atau aktif mempengaruhi pembuatan kebijakan publik (input)
juga aktif dalam implementasi atau pelaksanaan kebijakan publik (output). Juga
memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa dirinya sebagai aktor politik
berkemampuan mempengaruhi kehidupan politik bangsa dan negaranya.
Orang/masyarakat yang bertipe budaya politik partisipan disamping berperan
aktif dalam proses politik juga tunduk pada hukum dan kewenangan pemerintah.
4) Tipe budaya politik
campuran /kewarganegaraan.
Dalam
kenyataan, sulit ditemukan dalam suatu masyarakat atau suatu bangsa berbudaya
politik menurut satu tipe tertentu. Misal, hanya berbudaya politik partisipan,
atau subjek atau parohial. Ini berarti sistem politik, yang secara dominan
berbudaya politik partisipan, juga di dalamnya memiliki budaya politik parohial
dan subjek. Oleh karena itu yang kita temukan dalam kenyataan budaya politik
suatu masyarakat atau bangsa bersifat campuran. Ini berarti dalam masyarakat
dapat kita temukan budaya politik campuran: parohial – subjek; subjek –
partisipan; dan parohial – partisipan.
Tipe budaya politik yang
mana yang berkembang di Indonesia ? Budaya politik suatu bangsa sesungguhnya
tidak lepas dari pengaruh dari nilai - nilai sosial yang dianut oleh masyarakatnya.
Misalnya, pada waktu masuk menjadi negara merdeka, tetapi nilai - nilai sosial
yang kuat sebagai warisan pada tahap sebelum merdeka itu feodalistik, maka
dapat saja budaya politik yang berkembang sangat dipengaruhi feodalisme.
Padahal, yang dikehendaki dalam negara merdeka adalah budaya politik yang modern
(demokratis) atau sistem politiknya secara dominan bertipe budaya politik
partisipan.
Pada waktu sebelum terbentuknya
negara RI, sifat - sifat utama yang mendukung demokrasi telah dikenal dalam
masyarakat. Bung Hatta menunjukkan pijakan budaya demokrasi itu adalah
kedaulatan rakyat, yang sebenarnya tidak asing bagi rakyat Indonesia, karena
tiga sifat utama yang dikandungnya, yaitu cita- cita rapat, cita-cita protes massa,
cita-cita tolong menolong telah dikenal dalam demokrasi tua di tanah air kita.
Di dalam cita - cita rapat dan cita - cita massa protes dapat dibangun
demokrasi politik, sedangkan dalam cita - cita tolong menolong bisa menjadi
dasar demokrasi ekonomi . Sedangkan Kuntowijoyo (1999) menyatakan ada 2 pusaka
budaya politik bangsa yaitu budaya afirmatif (pengukuh kekuasaan) yang
feodalistik yang merupakan tradisi politik BU (Budi Utomo) dan budaya politik
critical (pemawas terhadap kekuasaan) yang demokratis sebagai tradisi politik
SI (Serikat Islam)". Nurcholis Madjid dalam hal ini, "menggolongkan
budaya pedalaman yang feodalistik dan budaya pesisir yang demokratis".
Ketegangan antara budaya
feodalistik dan budaya demokrasi yang dikembangkan tergambarkan dari perdebatan
berikut ini. Misalnya, perdebatan antara dr. Soetatmo dengan dr. Tjipto
Mangunkusumo tentang ikrar berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu
bahasa Indonesia (Sumpah Pemuda 1928), pada tahun 1932. "Dokter Soetatmo
mengatakan, nanti kalau kita terlepas dari kolonial, kita akan mendirikan
kerajaan Jawa. Sedangkan dr. Tjipto justru akan menciptakan / mendirikan
Indonesia Raya (dari Sabang sampai Merauke)”. Dengan kata lain, Soetatmo lebih
melihat kenyataan bahwa dari segi budaya, budaya Jawa sejak zaman pergerakan
nasional telah mendominasi. Sedangkan Tjipto, melihat dari segi ideal dari
kepentingan politik bahwa sebagai masyarakat majemuk Indonesia lebih tepat
dikembangkan sebagai negara kesatuan yang menjunjung tinggi kemajemukan. Negara
yang menjunjung tinggi kemajemukan adalah negara demokratis.
Dengan demikian dapat
dinyatakan, meskipun dalam masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan telah
memiliki potensi budaya politik demokrasi atau tipe budaya politik partisipan,
tetapi juga masih dibarengi dengan kuatnya paham feodal (feodalisme) . Paham
feodal merupakan kendala bagi mengembangan tipe budaya politik partisipan dalam
masyarakat. Sebaliknya menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya masyarakat
berbudaya politik subjek, karena hubungan yang berkembang bersifat Tuan dengan
kaula. Begitu pula feodalisme dapat mendorong berkembangnya tipe budaya politik
parohial, karena masyarakat dikelompokkan atas “wong gede” dengan “wong cilik”.
Solidaritas kelompok yang kuat dapat mendorong peran politik yang berkembang
hanya sebatas berorientasi kepada ikatan kelompok.
Bagaimana dengan tipe budaya
politik yang berkembang setelah Indonesia merdeka ? Meskipun sebelum merdeka
sudah dikenal budaya demokrasi, tetapi terbatas pada tataran masyarakat desa
dan sebatas sebagai nilai - nilai sosial , bukan merupakan budaya politik
sebab pada tataran penguasa / raja yang berlaku budaya feodalistik. Budaya
bangsa yang sangat berpengaruh secara menonjol adalah budaya Jawa yang
dikembangkan dari konsep kawula - gusti. Konsep kawula-gusti sangat hirarkhis,
lapisan masyarakat dibagi atas wong cilik (orang biasa) dan penggede (golongan
penguasa), yang berkonsekuensi terjadinya perbedaan hak dan kewajiban, dan
perbedaan ini bersifat pinesti (ditentukan) atau merupakan takdir. Budaya yang
lahir dari konsep kawula-gusti bersifat feodalistik, tidak demokratis.
Dalam proses selanjutnya,
budaya keraton yang feodalsitiklah yang berkembang sebagai budaya nasional,
bukan budaya desa. Sehingga tidak berkelebihan jika Soetandyo Wignyosoebroto sampai
pada pendapat bahwa " Indonesia suatu negeri yang sesungguhnya tak
memiliki tradisi demokrasi dengan kebebasan para warga masyarakat untuk
mengeluarkan opini - opini guna mencadangkan alternatif - alternatif yang
melawan kemapanan, dan untuk berserikat guna menggalang sinergi yang akan
merealisasi opini - opini alternatif itu. Selain itu, Indonesia adalah suatu
negeri yang sesungguhnya tak memiliki tradisi kultur politik yang egalitarian dengan
hak - hak warga masyarakat untuk secara asasi diperlakukan tanpa diskriminasi
apapun ".
Apa yang dikemukakan
Soetandyo diatas, tampak pada ketegangan ketika para pendiri negara (founding
fathers) menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka. Ketegangan yang dimaksud
antara lain, tampak pada pemikiran yang menghendaki negara dominan (diwakili
Soekarno dan Soepomo ), dengan yang berorientasi warga negara yang kuat
(diwakili Hatta dan Yamin ). Pemikiran Soepomo tersebut, tergambar pada konsep negara
integralistik. "Konsep negara integralistik diuraikan dengan menggunakan
metafora keluarga, dan pada kenyataannya memang disebut sebagai negara -
keluarga. Dalam keluarga ideal, anak-anak dipelihara dan dilindungi oleh orangtua
dengan penuh rasa kasih sayang : mereka tidak memerlukan perlindungan hak-hak
asasi terhadap orangtua. Dalam negara integralistik yang dianjurkan oleh
Soepomo pada tahun1945, rakyat tidak membutuhkan hak-hak asasi. Hak-hak
tersebut dianggap sebagai perwujudan pemikiran individualistik yang menentang
semangat kebersamaan keluarga". Pergumulan tersebut, berakhir dengan
kompromi. Hal itu, terlihat pada kandungan Konstitusi/UUD 1945 yang
menempatkan negara pada posisi yang kuat, misalnya dianutnya sistem
Presidensial, dan dimilikinya wewenang eksekutif bersama legislatif dalam
membuat undang-undang dan dimasukkannya hak - kewajiban warga negara / hak
asasi manusia. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa yang diidealkan adalah
kuatnya negara, harus tetap menjamin hak asasi manusia (HAM). Konsekuensi atas
dijaminnya HAM, maka berarti tidak lagi dikenal diskriminasi antara Gusti
dengan kawula, yang ada adalah kedudukan mereka yang baru sebagai warga negara yang
sebangsa-- yang bersifat sama derajatnya (egalitarian). Soepomo, sesungguhnya
"......telah meninggalkan pikiran negara persatuan (negara menyatu dengan
masyarakat sebagai kesatuan yang menyeluruh) atau negara kekeluargaan (family
state) ketika dia terlibat dalam penyusunan UUD 1949 dan juga ketika memimpin
Panitia Perancang UUD 1950 dengan tugas memasukkan esensi dari UUD 1945 ke
dalam undang-undang dasar yang baru". Mengapa Soepomo, meninggalkan konsep
negara integralistik yang diperjuangkannya? Adnan Buyung Nasution (1995) menyatakan:
"Kita bisa menduga bahwa waktu itu Soepomo telah belajar dari pengalaman
selama adanya negara Indonesia bahwa penyalahgunaan kekuasaan dan
pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM ternyata dapat juga dilakukan oleh
orang-orang Indonesia".
Namun paham negara
integralistik dalam perkembangannya masih cukup kuat berpengaruh dalam
pemikiran politik penguasa di Indonesia, terutama ketika era orde baru. Adnan Buyung
Nasution (1995), menyatakan konsep negara integralistik merupakan pengingkaran
terhadap hakikat permasalahan negara konstitusional, yaitu bahwa kekuasaan
pemerintah pada hakekatnya selalu menjadi masalah dan ini berlaku universal,
yang menuntut cara-cara khusus di bawah kondisi-kondisi modern untuk
mencegahnya menjadi sewenang-wenang (despostis). Dengan kata lain, bahwa negara
integralistik dimanapun cenderung berkembang menjadi negara yang otoriter yang
sewenang wenang terhadap rakyatnya.
Memang diakui pada awal
perjalanan negara Indonesia merdeka, ada kecenderungan budaya demokratis yang lebih
berkembang dengan berlakunya demokrasi parlementer. Akan tetapi hal itu berjalan
tidak begitu lama, bukan karena tidak cocoknya budaya demokrasi tetapi lebih
disebabkan karena orang - orang partai politik lebih berorientasi kepada
kepentingan kelompok dari pada kepentingan rakyat banyak. Juga karena pada
periode demokrasi parlementer dengan jatuh bangunnya pemerintah ditangkap
sebagai cermin terjadinya semakin melemahnya negara, kondisi ini kemudian
memunculkan kehendak terutama dari pemerintah yang berorientasi perlunya
mengembangkan negara yang kuat. Orientasi pada negara yang kuat inilah yang
pada akhirnya melahirkan demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin merupakan
pemikiran tentang manunggalnya demokrasi dengan kepemimpinan. Pemikiran
tersebut dapat dipahami dari pandangan Sutatmo Suriokusumo (1888-1924), yang
menyatakan " agar tercapai masyarakat sama rata sama rasa tanpa merusak
tata-tentrem-karta-raharja, demokrasi harus disertai kebijaksanaan (demokrasi
enwijsheid). Kebijaksanaan itu sendiri hanya bisa datang dari sang pandito yang
telah melakukan tapa brata, dan sang pandito itulah yang memimpin keluarga atau
negara". Tentang gambaran demokrasi terpimpin, Adnan Buyung Nasution
(1995), menyatakan " Perlu ditambahkan bahwa konsep negara integralistik
lebih berpengaruh di luar dari pada di dalam Konstituante. Demokrasi terpimpin
telah dimulai pada tahun 1957 dengan Konsepsi presiden, dengan slogan bahwa semua
anggota keluarga harus makan di satu meja dan bekerja di satu meja kerja untuk
menganjurkan pembentukkan kabinet gotong royong, yang terdiri dari semua partai
besar dan mewakili aliran pemikiran nasionalis, Islam, dan komunis. Demokrasi
Terpimpin membenarkan penolakan sistem parlementer dengan asumsi bahwa melawan
Pemerintah sama dengan menantang ayah sendiri. Konsep negara integralistik inilah
yang akhirnya menggeser konsep negara konstitusional yang diperjuangkan oleh
Konstituante dengan segala kekurangannya".
Dengan demikian pada masa demokrasi
terpimpin budaya feodalistik memperoleh persemaian yang subur. Kondisi ini,
berkelanjutan pada masa orde baru dimana lembaga kepresidenan sangat dominan
bahkan ada kesan sakral dari kritik dan kontrol rakyat.
Pada era reformasi, dengan
amandemen UUD 1945, maka pengembangan kelembagaan negara terutama antara
eksekutif dengan legislatif dikembangkan pada posisi yang sama kuat. Posisi
yang sama kuat ini dimaksudkan dalam rangka pengembangan hubungan kelembagaan
negara yang bersifat check and balance. Caranya Presdien tidak lagi dipilih
oleh MPR tetapi di pilih oleh rakyat secara langsung. Kekuasaan membuat
undang-undang berada di DPR, sedangkan eksekutif hanya sebatas berhak
mengajukan RUU. Pengesahan UU oleh Presiden tidak mengikat secara hokum, karena
apabila Presiden tidak mengesahkan dalam batas waktu yang telah ditentukan UU
itu tetap berlaku.
Kelembagaan negara untuk
mendukung negara demokrasi dan negara hukum juga berkembang dengan pesat.
Dewasa ini kita mengenal : Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY),
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pembrantasan Korupsi
(KPK), Komisi Ombusmen Nasional. Begitu pula secara kelembagaan mulai diperkuat
proses demokrasi, misalnya dengan Pilkada langsung, pemekaran provinsi maupun
kabupaten. Tetapi ironisnya baik eksekutif maupun legislatif tampak semakin
oligarkis (mengutamakan kelompok ). Hal ini dapat dilihat pada berbagai
kebijakan publik yang diambil tampak kurang berorientasi pada kepentingan
rakyat. Menghadapi kondisi yang demikian rakyat tidak tinggal diam. Mereka
kemudian merespon dengan berbagai aktivitas untuk memperjuangkan
kepentingannya. Rakyat menuntut agar negara dikelola sesuai dengan tujuan
bernegara, yang paling penting yaitu mensejahterakan rakyatnya. Kondisi
demikian inilah yang tampaknya menyebabkan mengapa tipe budaya politik
partisipan yang berkembang sejak tumbangnya pemerintahan orde baru semakin
menguat.
Dengan kata lain tipe budaya
politik parohial dan tipe budaya politik subjek yang secara dominan berkembang
pada masa sebelum era reformasi mulai bergeser ke arah berkembangnya tipe
budaya politik partisipan. Bukti kearah berkembangnya tipe budaya politik
partisipan dalam masyarakat dewasa ini, antara lain ditandai maraknya :
masyarakat memberikan input terhadap berbagai RUU. Seperti input masyarakat
terhadap RUU Perlindungan terhadap Saksi, RUU Penyiaran, RUU Anti Pornografi
dan Pornoaksi, dsb. Begitu pula berbagai kritik, protes terhadap kebijakan
pemerintah ketika menaikan BBM, impor beras, dsb.
C. Sosialisasi Politik dalam
Pengembangan Budaya Politik
Apa
sosialisasi politik itu ? Secara singkat dan sederhana
pengertian sosialisasi politik dapat dinyatakan sebagai proses mewariskan
budaya politik. Ini berarti dalam sosialisasi politik terdapat proses
pembentukan orientasi/pandangan politik. Baik orientasi politik kognitif,
afektif, dan evaluatif terhadap sistem politik. Lewat proses pembentukan
orientasi politik tersebut, akan terbentuk tipe budaya politik parohial,
subjek, dan partisipan. Berikut ini ada beberapa contoh, pengertian sosialisasi
politik dikemukakan oleh para ahli politik. Easton dan Denis mengartikan
“sosilisasi politik sebagai proses pengembangan lewat mana seseorang memproleh
orientasi politik”. Kenneth P. Langton mengemukakan sosialisasi politik dalam
arti yang luas menunjuk bagaimana masyarakat mentransmisikan budaya politik
secara turun temurun (from generation to generation). Gabriel A. Almond,
menyatakan bahwa sosialisasi politik menunjuk pada proses – proses pembentukan
sikap dan pola – pola tingkah laku politik, juga merupakan sarana bagi suatu
generasi untuk mewariskan patokan – patokan dan keyakinan – keyakinan politik
kepada generasi sesudahnya.
Mengapa sosialisasi politik
dalam pengembangan budaya politik itu penting ? Seperti telah dikemukakan di
atas, bahwa sosialisasi politik merupakan proses mewariskan budaya politik.
Budaya politik yang hendak diwariskan adalah yang sesuai dengan sistem politik
yang dicita-citakan oleh suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia, sistem politik
yang dicita-citakan (sistem politik ideal) adalah sistem politik demokrasi Pancasila.
Dalam sistem politik demokrasi Pancasila, kedaulatan rakyat dilaksanakan
sejalan dengan nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945. Ini berarti tipe
budaya politik partisipan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya politik
Pancasila dan ketentuan – ketentuan UUD 1945 yang tepat ditransmisikan secara
turun temurun dari suatu generasi ke generasi sesudahnya. Nilai-nilai budaya politik
Pancasila diantaranya yaitu:
1.
Relegius (bukan sekuler);
2.
Bhineka tunggal Ika (Pluralisme);
3.
Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Kebangsaan;
4.
Ciri kekeluargaan;
5.
Gotong-royong;
6.
Musyawarah;
7.
Cinta kemerdekaan;
8.
Cinta tanah air;
9.
Cinta persatuan dan kesatuan;
10.
Semangat solidaritas.
Menurut ketentuan UUD 1945
sistem politik demokrasi Pancasila dikembangkan atas prinsip fungsi-fungsi
lembaga negara dilaksanakan secara terspesialisasi. Misalnya, fungsi legislasi
(membuat undang-undang) merupakan fungsi spesialisasi legislatif, fungsi
melaksanakan undang-undang merupakan fungsi spesialisasi eksekutif dan fungsi
penghakiman/penegakkan undang – undang merupakan fungsi spesialisasi yudikatif.
Hal ini mengisyaratkan tipe sistem politik yang hendak dikembangkan menurut UUD
1945 adalah tipe refracted (terpencar). Tipe refracted ini merupakan tipe
sistem politik modern. Selain itu kita juga mengenal dimana fungsi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif tidak terspesialisasi tetapi dilakukan hanya oleh Raja
atau satu lembaga negara (misal eksekutif dalam sistem politik
otoriter/totaliter). Sistem politik yang demikian dikenal menganut tipe fused
(tergabung menjadi satu).
Kemudian pengsian jabatan
dalam legislatif (parlemen) dan eksekutif (Presiden, Kepala Daerah/Kota)
dilakukan melalui Pemilu secara terpisah. Jadi ada pemilu legislatif dan juga
pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pilkada. Karena yang berhak sebagai
kontestan pemilu adalah partai politik, maka bagi warga negara yang
berkeinginan menggunakan hak dipilih-nya harus melalui partai politik. Namun
untuk pemilihan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) bersifat perorangan.
Begitu pula untuk pemilihan Kepala Desa dan anggota BPD bersifat perorangan.
Kemudian untuk menjalankan roda pemerintahan sehari – hari dilakukan oleh
birokrasi (Pegawai Negeri Sipil/Militer). Fungsi birokrasi adalah memberikan
pelayanan publik. Birokrasi netral secara politik, sehingga ketika terjadi
pergantian pemerintah, roda pemerintah tetap berjalan.
Selanjutnya kelompok
kepentingan (seperti organisasi kemasyarakatan, LSM), pers, tokoh-tokoh
masyarakat maupun rakyat pada umumnya, berfungsi memberikan masukan , yang bisa
berupa tuntutan atau dukungan bagi pembuatan dan pelaksanaan pembuatan
undang-undang (kebijakan publik).
Tipe budaya politik
partisipan dalam sistem politik demokrasi Pancasila, seperti digambarkan secara
sederhana tersebut di atas, itulah yang disosialisasikan. Dengan demikian
pentingnya sosialisasi politik dalam pengembangan budaya politik partisipan
dalam sistem demokrasi Pancasila, dapat dinyatakan :sistem politik demokrasi
Pancasila dapat diwariskan (dipelihara) dan dikembangkan untuk mencegah
kepunahannya.
Ketika terjadi pergantian
generasi, maka generasi sesudahnya dapat melanjutkan dan menggerakkan dan
mengelola penyelenggaraan pemerintah dan negara secara berkelanjutan.
Masalah pluralisme dan
adanya jaminan setiap orang/kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk
menguasai pemerintah, berpotensi menimbulkan konflik dapat diatasi. Karena
nilai budaya politik Pancasila , seperti musyawarah, solidaritas, persatuan dan
kesatuan yang disosialisasikan dapat menjadi acuan dalam mengelola konflik.
Sehingga konflik yang terjadi tidak sampai merusak integrasi nasional dan
stabilitas politik, karena dapat di atasi dengan konsensus. Konsensus merupakan
nilai sangat penting dari demokrasi Pancasila , sebagai perwujudan dari nilai
kekeluargaan dan musyawarah. Komitmen terhadap konsensus inilah sebagai hal
penting dalam memelihara dan mengembangkan sistem politik demokrasi Pancasila
sejalan dengan dinamika atau kebutuhan bangsa Indonesia yang pluralis untuk
melakukan perubahan dari waktu ke waktu.
Seorang ilmuan politik
Almond, menggambarkan pentingnya sosialisasi politik bagi suatu bangsa tampak
pada:
1. dapat membentuk dan mewariskan kebudayaan
politik suatu bangsa;
2. dapat memelihara kebudayaan politik suatu
bangsa dengan jalan menruskan dari generasi yang lebih tua kepada genersi
berikutnya;
3. dapat mengubah budaya politik suatu
bangsa.
Pendek kata pentingnya
sosialisasi politik adalah dapat mewariskan, memelihara dan mengubah budaya
politik suatu bangsa.
Bagaimana dengan bentuk
sosialisasi politik ? Sosialisasi politik dapat mengambil bentuk langsung dan
tidak langsung. Dikatkan bentuk sosialisasi politik langsung apabila seseorang
menerima /mempelajari nilai-nilai, informasi, sikap, pandangan –pandangan,
keyakinan-keyakinan mengenai politik secara eksplisit. Misalnya, individu
secara eksplisit mempelajari budaya politik, sistem politik, konstitusi, partai
politik, dsb. Sedangkan bentuk sosialisasi politik tidak langsung, apabila
individu pertama kali memperoleh atau mewarisi hal-hal yang bersifat
non-politik, akan tetapi hal-hal yang bersifat non politik ini pada gilirannya
akan mempengaruhi sikap-sikapnya di bidang politik. Misalnya, seorang anak yang
mewarisi perilaku kerjasama dalam keluarganya, maka ketika yang bersangkutan
dewasa akan mudah melakukan kerjasama dengan pemerintah, mudah melakukan
kerjasama dengan lawan politiknya, dsb.
Sarana atau agen apa saja
yang digunakan dalam sosialisasi politik ? Sosialisasi politik dapat melalui
berbagai macam sarana, yaitu:
1. Keluarga,
2. Sekolah,
3. Kelompok bermain atau
bergaul,
4. Pekerjaan,
5. Media massa,
6. Kontak-kontak politik
langsung.
Keluarga merupakan sarana
sosialisasi politik yang pertama – tama dikenal oleh anak. Misalnya, melalui
keluarga anak belajar menghormati keputusan keluarga, sebagai keputusan yang
memiliki otoritatif (keengganan mematuhi dapat menimbulkan hukuman). Kelak
setelah anak dewasa, hal itu dapat berpengaruh dalam membentuk sikap patuh
terhadap keputusan yang otoritatif dari pemerintah. Karena keluarga sebagai
sarana yang paling awal dikenal oleh anak, maka kesan terhadapnya sangat
mendalam. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan sosialisasi politik untuk
mengembangkan budaya politik demokratis perlu di dalam keluarga ditanamkan
nilai, sikap dan perilaku demokratis. Seperti antara lain: pentingnya nilai
egalitarian, nilai kebebasan, nilai kebersamaan, sikap menghargai perbedaan,
sikap terbuka, terampil melakukan konsensus, kompromi, dsb.
Di sekolah, anak banyak
belajar pengetahuan, nilai, sikap dan perilaku politik secara eksplisit,
terutama melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan/PPKn. Melalui mata
pelajaran ini, anak diajarkan mengenai hak-kewajiban sebagai warga negara,
sistem politik, otonomi daerah, partai politik, budaya politik dst. Melalui
pelajaran ini anak diharapkan pada gilirannya dapat berpartisipasi aktif dalam
kehidupan berbangsa dan negaranya.
Kelompok pergaulan /kelompok
bermain, dimana pada umumnya setiap anggota memiliki kedudukan yang relatif
sama, memiliki pengaruh kuat bagi setiap anggota untuk menyesuaikan diri
terhadap sikap dan tingkah laku yang dianut kelompok. Penyesuaian diri ini
penting agar dapat diterima oleh kelompoknya. Oleh karena itu, seseorang
tertarik atau tidak terhadap politik dapat karena pengaruh kelompoknya.
Pekerjaaan dan organisasi
yang dibentuk dalam lingkungan pekerjaan seperti serikat kerja, merupakan
tempat komunikasi dan memperjuangkan aspirasinya. Pengalaman memperjuangkan
kepentingan kelompok kerja, seperti melakukan tawar – menawar untuk kenaikan
kesejahteraan baik dengan pengusaha maupun pemerintah merupakan pengalaman
politik yang berkesan dan mendalam. Begitu pula dengan keikutsertaan dalam
demonstrasi untuk mempengaruhi kebijakan dibidang ketenagakerjaan, bermanfaat
penting ketika berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik.
Media massa (surat kabar,
radio, majalah, televisi, dan internet) sebagai sarana sosialisasi politik
tampak pada pemberian informasi tentang berbagai kejadian/peristiwa politik,
pandangan – pandangan politik yang kadang-kadang kritis dan bahkan juga emosional,
maupun memuat nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat baik lokal, nasional
mapun internasional. Oleh karena itu media massa memiliki pengaruh kuat dalam
membentuk sikap , keyakinan dan perilaku politik seseorang.
Kontak-kontak politik
langsung, missalnya: dengan pejabat pemerintah, politisi, merupakan sarana
sosialisasi politik yang sangat penting keberhasilan sosialisasi politik yang
telah berlangsung dari agen yang lain. Misalnya, ketika sosialisasi politik
melalui keluarga, sekolah, telah menanamkan sikap hormat terhadap otoritas
(pemerintah) , tetapi pengalaman anak ketika kontak langsung dengan Lurah,
Camat, Bupati, Polisi, Tentara, kecewa karena diperlakukan dengan tidak hormat,
tidak mendapat pelayanan dengan baik, diperas, maka hal ini dapat merubah sikap
acuh tak acuh atau tidak lagi percaya kepada pemerintah. Partai politik,
pemerintah yang sering turun ke bawah kontak langsung dengan rakyat untuk
memenuhi aspirasi rakyat, dapat membentuk sikap percaya dan setia kepada partai
politik dan pemerintah.
Dalam proses sosialisasi
politik, kedudukan sarana sarana di atas sama pentingnya. Besar tidaknya
peranan sarana – sarana di atas tergantung kepada : (1) tingkat intensitas
interaksi antara individu dengan sarana yang ada; (2) proses komunikasi yang
berlangsung antara individu dengan sarana tadi, (3) tingkat penekunan individu
yang mengalami proses sosialisasi politik, dan (4) umur individu yang
bersangkutan.
Apabila dicermati seseorang
pertama kali mengalami proses sosialisasi politik adalah memlalui keluarga.
Ketika anak mulai masuk usia sekolah, maka proses sosialisasi politik juga
berlangsung di sekolah, yang kemudian diikuti melalui agen kelompok bermain atau
bergaul. Dalam kenyataan semakin umur seseorang semakin dewasa, maka ada
kecenderungan sosialisasi politik melalui keluarga semakin menurun. Begitu pula
melalui sekolah proses sosialisasi politik pada umumnya paling sampai umur 30
tahun. Sedangkan sosialisasi politik melalui kelompok bergaul dan pekerjakan
cenderung semakin meningkat. Dengan tampak bahwa sesorang dalam waktu yang
bersamaan dimungkinkan hidup dalam lingkungan keluarga, sekolah, kelompok
bergaul, pekerjaan, organisasi politik , dll., maka seseorang mengalami proses
sosialisasi politik tidak hanya melalui satu sarana saja tetapi melalui
berbagai macam sarana.
D. Budaya Politik Partisipan
Bagaimana menerapkan budaya
politik partisipan ? Penerapan budaya politik partsipan sangat penting, sebab
akan berpengaruh kuat terhadap pelaksanaan kehidupan demokrasi yang nyata atau
demokrasi tidak sebatas wacana. Dalam kenyataan meskipun suatu negara menganut
sistem politik demokrasi, seperti Indonesia, tidak serta merta kemudian
kehidupan politiknya demokratis. Apabila dikaji faktor kendalanya antara lain
belum berkembangnya budaya politik partisipan. Seperti dikatakan Aristoteles
filosof politik dan Bryce ilmuwan politik yang mendalami demokrasi, intinya
mereka sepaham bahwa demokrasi itu dilanjutkan dan dipertahankan oleh warga
negara yang aktif dalam urusan politik dan penyebaran informasi yang tinggi
mengenai masyarakat serta memiliki tanggung jawab politik yang tinggi.
Aktivitas warga negara atau
peran warga negara dalam kehidupan politik, dapat dilakukan pada tingkat makro
politik (pemerintahan tingkat nasional) dan mikro politik(pemerintahan lokal). Sering
ada kesan bahwa partisipasi politik pada tingkat mikro politik dianggap kurang
penting dibandingkan pada tingkat makro politik. Sebenarnya tidaklah demikian,
partisipasi politik pada tingkat mikro politik bahkan dianggap akan lebih
efektif, karena disinilah penduduk dapat mengembangkan beberapa kapasitas untuk
menguasai berbagai masalah politik. Berpartisipasi politik di tingkat lokal,
misalnya pada pemerintahan desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, juga termasuk partisipasi
di koperasi, serikat kerja , LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan
lain-lainnya.
Penyebaran berbagai
informasi secara luas dan memadai mengenai berbagai hal yang menyangkut
kehidupan masyarakat sangat penting. Lebih-lebih dalam masyarakat Indonesia
yang majemuk dan berada tersebar di berbagai pulau. Misalnya, warga negara yang
ada di kota yang relatif sudah maju dengan mudah memperoleh informasi tentang masalah-masalah
yang dihadapi dari sesama anak bangsa yang berada di berbagai pelosok pedesaan.
Berbagai masalah saudara kita yang berada di kawasan Indonesia Timur dengan
mudah dapat diperoleh dari saudaranya sesama anak bangsa di wilayah Indonesia
yang lain. Selanjutnya perolehan informasi mengenai masalah – masalah kehidupan
masyarakat, digunakan untuk membantu untuk ikut serta memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi di lingkungan masing – masing maupun diberbagai daerah. Sedangkan
partisipasi itu misalnya dalam wujud mengkritisi, melakukan negoisasi dengan
lembaga yang berwenang, melakukan upaya penekanan lewat unjuk rasa untuk
memperjuangkan kepentingan sesama anak bangsa.
Seperti telah diuraikan
sebelumnya, bahwa dalam budaya politik partisipan ada unsur kepatuhan terhadap
norma , peraturan yang berlaku. Kepatuhan ini mencerminkan bahwa partisipasi
untuk mengkritisi, memecahkan berbagai masalah kehidupan publik disertai
tanggung jawab. Tanggung jawab itu sebenarnya dapat diwujudkan apabila dalam
penerapan budaya politik partisipan sesuai dengan nilai-nilai budaya politik
Pancasila. Nilai- nilai budaya politik Pancasila seperti yang telah dikemukakan
di muka, antara lain : relegius, kemajemukan, persatuan, solidaritas, dst.
Karena budaya politik Pancasila pada dasarnya merupakan sumber inspirasi, motivasi,
sikap dan tingkah laku politik bagi setiap warga negara. Begitu pula tentunya
harus mengacu kepada prinsip – prinsip berpolitik menurut UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan di bidang politik yang lain. Undang-undang di
bidang politik antara lain, misalnya mengenai : partai politik, pemilu, susunan
dan kedudukan MPR, DPR, dan DPD, dan DPRD. Faktor yang paling dominan dalam
mewujudkan sistem politik demokrasi Pancasila, sebenarnya ada pada efektifitas
peran warga negara di bidang politik. Sebab kekuatan negara demokrasi sangat tergantung
pada warga negara yang demokratis.
Bagaimana penerapan budaya
politik partisipan ? Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa cirikhas budaya
politik partisipan adalah aktif terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan publik. Dengan kata lain seseorang yang berbudaya politik partisipan
tidak hanya patuh pada peraturan, loyal pada pemerintah, tetapi juga bersikap
kritis terhadap kebijakan publik untuk kepentingan perbaikan atau perubahan
kebijakan publik agar bepihak untuk kepentingannya maupun kepentingan publik.
Orang berbudaya politik partisipan juga memiliki cirikhas percaya diri untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan demikian, penerapan budaya politik
partisipan dapat dinyatakan dalam bentuk: (1) peran aktif yakni memberikan
masukan, mengkritisi kebijakan publik; (2) peran pasif, yakni mematuhi
kebijakan pemerintah; (3) peran positif, yakni meminta kepada pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya supaya sebagai warga negara dapat hidup sejahtera;
dan (4) peran negatif, yakni menolak segala bentuk intervensi pemerintah yang
berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan masalah urusan pribadi
(privasi).
Bentuk penerapan budaya politik
partisipan secara lebih konkrit, dapat diberikan contoh sebagai berikut:
1.
memberikan masukan dalam pembuatan Perdes, Perda, Kepres, PP, UU dan amandemen
konstitusi;
2.
memberikan kritik (menunjukkan kebaikan dan kelemahan) dari Perdes, Perda,
Kepres, PP, UU dan amandemen konstitusi, dalam upaya perubahan dan perbaikan;
3.
mematuhi Perdes, Perda, Kepres, PP, UU dan amandemen konstitusi, yang telah
diputuskan oleh lembaga yang berwenang dan sesuai dengan prosedur yang telah
disepakati /ditentukan menurut perundang-undangan yang berlaku;
4.
menuntut pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti:
tersedianya makan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan yang sangat
diperlukan untuk hidup secara layak.
5.
menolak berbagai perlakuan pemerintah, kebijakan pemerintah yang bersifat
intervensi hak – hak privasi atau berakibat tereksploitasinya hak-hak asasinya.
Demikian pembelajaran
tentang Pengertian Budaya Politik, Tipe – tipe Budaya Politik yang Berkembang
dalam Masyarakat Indonesia, dan Sosialisasi Politik dalam Pengembangan Budaya
Politik. Semoga ada manfaatnya.
Budaya uang saat Pilkada masuk budaya politik juga ya ???
ReplyDeleteLuar biasa informasinya, sangat bermanfaat buat sesama
ReplyDelete