BahanAjar
Proses Penanganan Perkara Di Lingkungan Peradilan Umum
Bagaimana Proses Penanganan Perkara Di Lingkungan Peradilan Umum? Proses
penanganan perkara disebut juga peradilan. Peradilan merupakan tata cara
bagaimana suatu perkara itu diperiksa dan diputuskan penyelesaiannya oleh
petugas yang berwenang untuk itu, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan
tugas negara menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan bermacam-macam jenisnya,
tergantung dari perkara yang bersangkutan, sehingga suatu perkara yang akan
ditangani atau diselesaikan harus dilihat dahulu termasuk dalam lingkungan
peradilan mana perkara itu.
Termasuk
dalam lingkungan peradilan umum adalah perkara-perkara pidana dan perdata.
Perkara pidana melingkupi perbuatan pidana atau tindak pidana, sedang perkara
perdata melingkupi perbuatan perdata.
Perbuatan
pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum tertentu dilarang dan diancam
dengan pidana bagi yang melanggar larangan tersebut. Sedangkan perbuatan
perdata adalah perbuatan yang berhubungan dengan semua segi kehidupan manusia
yang menimbulkan hak dan kewajiban seseorang atau badan hukum.
1.Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di Lingkungan Peradilan
Umum
Perhatikan
kasus berikut ini!
“Polisi
menangkap Cakil karena disangka sebagai pelaku pencurian televisi di rumah
bapak Kepala Desa. Cakil ditahan di Kepolisian Sektor setempat selama dua puluh
hari. Namun karena pemeriksaan terhadap Cakil belum selesai, maka polisi
memperpanjang penahanan terhadap Cakil selama empat puluh hari”.
Secara
garis besar prosedur pemeriksaan perkara pidana sejak terjadinya hingga
pemeriksaan perkaranya di sidang Pengadilan Negeri dapat digambarkan dalam
skema berikut ini.
Proses
penanganan perkara pidana diatur oleh Hukum Acara Pidana sebagai Hukum Pidana
Formal yang mengatur bagaimana mempertahankan Hukum Pidana Materiil, atau
dengan kata lain sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Moeljatno bahwa Hukum Acara
Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang
memberi dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur
macam apa, ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat
dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan perbuatan pidana
tersebut.
Hukum
Acara Pidana di Indonesia diatur dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Proses pemeriksaan perkara pidana menurut KUHAP melalui
beberapa tahapan, antara lain:
b.Penuntutan
Dalam Proses Penanganan Perkara Di Lingkungan Peradilan Umum ada istilah penuntutan. Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan
Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur undang-undang
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Dalam
melakukan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan terhadap
tersangka untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat
diperpanjang dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri untuk waktu 30 (tiga
puluh) hari lagi apabila pemeriksaan penuntutan belum selesai.
Untuk
mempersiapkan perkaranya yang akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, maka
penuntut umum perlu membuat surat dakwaan yang berisi:
1) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka,
2) Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana
itu dilakukan.
Apabila
pemeriksaan yang dilakukan oleh penuntut umum sudah dianggap selesai, maka
berkas perkara diserahkan ke Pengadilan Negeri dengan permintaan untuk
diperiksa dan diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri. Dengan diserahkannya
berkas perkara ke Pengadilan Negeri, kewenangan untuk melakukan penahanan
terhadap tersangka beralih ke Pengadilan Negeri.
c.Pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan Negeri
Pemeriksaan
perkara pidana di Pengadilan Negeri dilakukan sesuai acara pemeriksaan yang
telah ditentukan, antara lain:
1) Acara Pemeriksaan Biasa
2) Acara Pemeriksaan Singkat
3) Acara Pemeriksaan Cepat
Beberapa
ketentuan pemeriksaan perkara pidana dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Untuk Acara Pemeriksaan
Biasa dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Setelah
hakim memasuki ruang sidang bersama dengan panitera, kemudian hakim ketua
membuka sidang dengan menyatakan sidang terbuka untuk umum, lalu memerintahkan
penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa di sidang. Terdakwa adalah tersangka
yang diperiksa di depan hakim pada sidang pengadilan. Yang diperiksa pertama
kali di sidang adalah terdakwa.
Sidang
perkara pidana di Pengadilan harus dilaksanakan terbuka untuk umum, kecuali
untuk perkara-perkara yang terdakwanya anak-anak dan perkara yang
menyangkut tindak pidana kesusilaan, maka sidangnya dilaksanakan secara
tertutup.
Setelah
pemeriksaan terhadap terdakwa selesai, maka dilakukanlah pemeriksaan terhadap
saksi-saksi baik saksi yang memberatkan terdakwa (disebut juga saksi a charge)
maupun saksi yang meringankan terdakwa (disebut juga saksi a
decharge).
Kalau
saksi yang diajukan ternyata adalah saksi yang melihat langsung terdakwa
melakukan perbuatan pidana, maka saksi tersebut dianggap sebagai saksi yang
memberatkan terdakwa. Sedangkan kalau saksi yang diajukan ternyata adalah saksi
yang melihat langsung bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa itu karena
ketidaksengajaan dari terdakwa, maka saksi tersebut dianggap sebagai saksi yang
meringankan terdakwa.
Dalam
pemeriksaan tersebut akan muncul berbagai barang bukti yang berhubungan dengan
peristiwa pidana yang terjadi.
Apabila
pemeriksaan terhadap saksi-saksi telah dianggap selesai oleh hakim, maka hakim
memerintahkan kepada penuntut umum untuk membacakan tuntutan (requisitoir).
Setelah tuntutan dibacakan oleh penuntut umum, maka giliran terdakwa membacakan
pembelaannya (pledooi). Kemudian penuntut umum
dapat mengajukan jawaban atas pembelaan terdakwa, dan terdakwa juga dapat
mengajukan jawaban atas pertanyaan penuntut umum.
Setelah
pemeriksaan dianggap cukup, kemudian hakim bermusyawarah untuk menjatuhkan
putusan, dan pada persidangan berikutnya hakim menjatuhkan putusan kepada
terdakwa. Putusan hakim dapat berupa:
a) putusan pidana, apabila
kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan, atau
b) putusan lepas dari segala
tuntutan hukum, apabila kesalahan terdakwa terbukti namun bukan merupakan
perbuatan pidana, atau
c) putusan bebas, apabila
kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Apabila
para pihak, baik terdakwa maupun penuntut umum keberatan atau tidak dapat
menerima putusan hakim, maka dapat mengajukan upaya hukum berupa banding. Namun
terhadap putusan hakim yang berupa putusan bebas, dan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum tidak dapat diajukan upaya hukum.
Upaya
hukum banding diajukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi wilayah hukum yang
membawahi Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan
sebagai berikut: Misalnya hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin
menjatuhkan putusan kepada terdakwa, dan terdakwa maupun jaksa penuntut umum
tidak menerima putusan tersebut, maka mereka dapat mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan yang berkedudukan di Banjarmasin.
Pengadilan
Tinggi bertempat kedudukan di ibu kota provinsi. Pengadilan Tinggi membawahi
beberapa Pengadilan Negeri.
Pengajuan
banding dapat disertai dengan memori banding, yaitu alasan-alasan diajukannya
banding. Yang diperiksa dalam tingkat banding adalah fakta perkaranya. Jadi
hakim Pengadilan Tinggi memeriksa ulang perkara yang telah diperiksa oleh Hakim
Pengadilan Negeri yang diajukan banding.
Dengan
diajukannya banding ke Pengadilan Tinggi, maka wewenang menahan terdakwa ada
pada Hakim Pengadilan Tinggi untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi apabila pemeriksaan
perkaranya belum selesai untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
Putusan
Hakim Pengadilan Tinggi terhadap perkara yang diajukan banding kepadanya dapat
berupa:
a ) menguatkan putusan Pengadilan
Negeri,
b) mengubah putusan Pengadilan
Negeri,
c) membatalkan putusan Pengadilan
Negeri dengan mengadakan putusan sendiri.
Apabila
para pihak, baik terdakwa maupun penuntut umum tidak dapat menerima putusan
Pengadilan Tinggi, maka para pihak dapat mengajukan kasasi kepada Ketua
Mahkamah Agung.
Mahkamah
Agung berkedudukan di ibu kota Negara Republik Indonesia. Wilayah hukum
Mahkamah Agung adalah seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Mahkamah Agung
memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kasasi. Yang diperiksa di tingkat
kasasi adalah segi penerapan hukumnya atas perkara yang diajukan kasasi, yaitu
apakah benar suatu peraturan hukum tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang, apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang, dan apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Pengajuan
kasasi harus disertai memori kasasi, yaitu alasan-alasan diajukannya kasasi.
Oleh karena yang diperiksa dalam tingkat kasasi adalah segi penerapan hukumnya,
maka memori kasasi juga mengenai segi penerapan hukumnya.
Putusan
Mahkamah Agung terhadap perkara yang diajukan kasasi dapat berupa:
a) mengadili
sendiri perkara tersebut, apabila suatu putusan dibatalkan karena peraturan
hukum tidak diterapkan,
b) menetapkan
disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan
memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan atau perkara tersebut
diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain, apabila suatu putusan dibatalkan
karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang,
c) menetapkan
pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut, apabila suatu putusan
dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang
mengadili perkara tersebut.
Banding
dan kasasi merupakan bentuk upaya hukum biasa. Di samping upaya hukum biasa
masih ada juga upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa ini diajukan atas
putusan hakim (pengadilan) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, artinya
putusan hakim tersebut sudah dijalankan, karena upaya hukum biasa sudah dilalui
atau batas waktu pengajuannya telah terlampaui, ataupun karena para pihak tidak
mengajukan upaya hukum biasa. Upaya hukum luar biasa sebagaimana diatur dalam
KUHAP berupa peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (sering disingkat PK) dan kasasi demi kepentingan hukum.
Peninjauan
kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (PK) dapat
diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Permintaan peninjauan kembali
dilakukan atas dasar:
a) apabila
terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah
diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan perkara itu akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau ditetapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan,
b) apabila
dalam putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal
atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan itu ternyata telah bertentangan
satu dengan yang lain,
c) apabila
dalam putusan dengan jelas memperlihatkan satu kekhilafan hakim atau kekeliruan
nyata.
Apabila
dalam putusan suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan
tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan dan putusan itu telah memperoleh
kekuatan hukum tetap juga dapat diajukan permintaan peninjauan kembali.
Permintaan peninjauan kembali dapat diajukan sewaktu-waktu, tetapi hanya
diperbolehkan diajukan satu kali.
2) Acara Pemeriksaan
Singkat adalah acara pemeriksaan terhadap perkara kejahatan atau
pelanggaran yang tidak termasuk perkara tindak pidana ringan dan yang menurut
penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
Proses Penanganan Perkara Di Lingkungan Peradilan Umum dikenal istilah Acara Pemeriksaan Singkat, Adapun yang dimaksud Acara
pemeriksaan singkat ini diawali dengan penuntut umum menghadapkan terdakwa
beserta saksi, ahli, juru bahasa, dan barang bukti yang diperlukan. Setelah
terdakwa menjawab segala pertanyaan yang diajukan hakim ketua sidang tentang
nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya
memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang, maka
penuntut umum dengan segera memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada
terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan
waktu, tempat, dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan.
Pemberitahuan penuntut umum tersebut dicatat dalam berita acara sidang dan
merupakan pengganti surat dakwaan.
Dalam
hal ini hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, maka supaya diadakan
pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari, dan
bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan
pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang
pengadilan dengan acara biasa.
Untuk
kepentingan pembelaan, maka atas permintaan terdakwa dan atau penasihat hukum,
hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama 7 (tujuh) hari. Putusan hakim tidak
dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang. Hakim
memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut. Isi surat tersebut
mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam acara
biasa.
3) Acara Pemeriksaan Cepat terdiri atas Acara
Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan dan Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu
Lintas Jalan.
Acara
Pemeriksaan Cepat dilakukan dengan hakim tunggal dan terhadap putusan yang
dijatuhkan hakim yang memeriksa perkaranya tidak dapat diajukan upaya hukum
(banding dan kasasi).
a) Yang diperiksa menurut Acara
Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana
penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya
tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. Dalam perkara sebagaimana
dimaksud dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan ini, penyidik atas kuasa
penuntut umum dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai
dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli, dan atau juru
bahasa ke sidang pengadilan.
Dalam acara
pemeriksaan tindak pidana ringan, pengadilan mengadili dengan hakim tunggal
pada tingkat pertama dan terakhir. Maksudnya hakim yang menyidangkan perkara
tersebut hanya satu orang hakim.
Pengadilan menetapkan
hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan cara pemeriksaan
tindak pidana ringan. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa
tentang hari, tanggal, jam, dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan dan
hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama
berkas dikirim ke pengadilan. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana
ringan yang diterima harus segera disidangkan pada hari sidang itu juga. Hakim
yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam buku register semua
perkara yang diterimanya. Dalam buku register dimuat nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama, dan pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya.
b) Yang diperiksa dalam Acara
Pemeriksaan Pelanggaran Lalu Lintas Jalan adalah perkara pelanggaran tertentu
terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan. Perkara-perkara
tertentu tersebut adalah sebagai berikut:
(1) mempergunakan
jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban atau keamanan
lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan,
(2) mengemudikan
kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat izin mengemudi (SIM),
surat tanda nomor kendaraan (STNK), surat tanda uji kendaraan yang sah atau
tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkannya tetapi
masa berlakunya sudah kadaluwarsa,
(3) membiarkan
atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak
memiliki surat izin mengemudi,
(4) tidak
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan tentang
penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat
penggandengan dengan kendaraan lain,
(5) membiarkan
kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor
kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor kendaraan yang
bersangkutan,
(6) pelanggaran
terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan dan
atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada
di permukaan jalan,
(7) pelanggaran
terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diizinkan, cara menaikkan dan
menurunkan penumpang dan atau cara memuat dan membongkar barang,
(8) pelanggaran
terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan
yang ditentukan.
Pengembalian
benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling berhak segera setelah
putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar putusan.
Dari
berbagai acara pemeriksaan di pengadilan se-bagaimana diuraikan di atas,
bagaimanakah hakim mengetahui duduk perkaranya sehingga ia menjadi yakin akan
peristiwa pidananya dan pelaku yang sebenarnya? Di dalam memeriksa suatu
perkara pidana, maka untuk mendukung keyakinannya hakim dibantu oleh beberapa
bukti-bukti, dan bukti-bukti ini tentunya bukti-bukti yang diakui oleh
undang-undang. Hal inilah yang dalam pembahasan materi Hukum Acara Pidana
disebut sebagai alat bukti atau pembuktian dalam pemeriksaan perkara pidana.
Pembuktian
Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana
Salah satau tahapan dalam Acara Pemeriksaan Singkat adalah Pembuktian Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana. Dalam
acara pemeriksaan tindak pidana di pengadilan selalu diperlukan adanya
bukti-bukti yang digunakan untuk memberikan keyakinan bagi hakim yang memeriksa
perkaranya, sehingga dapat diperoleh kejelasan tentang peristiwa dan pelaku yang
sebenarnya meskipun tidak seratus persen, karena dengan bukti-bukti itu
mengulang suatu peristiwa yang sudah terjadi di hadapan hakim merupakan sesuatu
yang tidak mungkin, namun hanyalah untuk mendekati kebenaran tentang
peristiwanya dan ini harus dilakukan guna menentukan suatu putusan yang
benar-benar adil. Jadi dengan bukti-bukti yang ada hakim dapat mengetahui
tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi, sehingga ia dapat memberikan putusan
yang benar dan adil berdasarkan bukti-bukti tersebut.
Tidak
semua bukti dapat digunakan untuk mendukung dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan. Bukti-bukti yang dapat digunakan adalah bukti-bukti yang
diakui oleh undang-undang. Menurut ketentuan KUHAP bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Alat
bukti yang sah menurut undang-undang (KUHAP) adalah:
(1) Keterangan
saksi, yaitu apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Dalam memberikan
keterangannya, saksi harus mengangkat sumpah atau janji terlebih dahulu di
hadapan hakim. Menjadi saksi adalah kewajiban bagi semua orang. Menolak untuk menjadi
saksi tanpa alasan yang dapat diterima, maka kepadanya dapat dikenakan sanksi
pidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Semua orang dapat menjadi
saksi, dan yang tidak dapat didengar keterangannya serta dapat mengundurkan
diri sebagai saksi adalah:
(a) keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa,
(b) saudara dari terdakwa atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang
mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga,
(c) suami atau istri terdakwa meskipun
sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
(Jadi
yang tidak dapat menjadi saksi dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi
contohnya adalah suami atau istri terdakwa, bekas suami atau bekas istri
terdakwa, anak-anak terdakwa, kakak dan adik terdakwa, orang tua terdakwa serta
para paman dan bibi terdakwa, para keponakan terdakwa beserta suami dan
istrinya, cucu-cucu terdakwa).
Di
samping itu ada pula orang-orang yang dapat meminta dibebaskan atau
mengundurkan diri sebagai saksi, yaitu mereka yang karena pekerjaan, harkat
martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia tentang hal yang
dipercayakan kepada mereka. Contoh orang-orang tersebut misalnya pemuka agama
(pendeta, kyai), notaris, dokter, petugas bank, konsultan kejiwaan.
Yang
boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:
(a) anak yang umurnya belum cukup lima
belas tahun dan belum pernah kawin,
(b) orang sakit ingatan atau sakit jiwa
meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
(2) Keterangan
ahli, yaitu apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Dalam
memberikan keterangannya, seorang ahli di hadapan hakim harus mengangkat sumpah
atau janji terlebih dahulu.
(3) Surat,
yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
antara lain:
(a) berita
acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu,
(b) surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan,
(c) surat keterangan dari seorang ahli
yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadanya,
(d) surat lain yang hanya dapat berlaku
jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
(4) Petunjuk,
yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk dapat
diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.
(5) Keterangan
terdakwa, yaitu apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri. Keterangan
terdakwa dapat berupa pengingkaran maupun pengakuan. Keterangan terdakwa saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
d.Pelaksanaan
putusan hakim
Putusan
hakim yang tidak diajukan upaya hukum atau kesempatan mengajukan upaya hukum
sudah habis waktunya atau sudah dilaksanakan dalam semua tingkat pengadilan,
maka putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Putusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan dalam arti:
1) -
apabila putusan hakim itu berupa pembebasan, maka terpidana bila ditahan harus
dibebaskan dan direhabilitasi nama baiknya serta dikembalikan hak-haknya yang
dibekukan sementara selama pemeriksaan,
2) -
apabila putusan hakim berupa lepas dari segala tuntutan, maka bila terpidana
ditahan harus dibebaskan dan dikembalikan hak-haknya,
3) -
apabila putusan dipidana, maka terpidana harus segera menjalani pidana yang
dijatuhkan kepadanya dengan dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan yang ditunjuk.
Sering
orang menyebut putusan hakim dengan istilah vonis hakim, dan pelaksanaan
putusan hakim sering disebut juga eksekusi. Pelaksana putusan hakim adalah
jaksa, artinya setelah putusan hakim dijatuhkan, maka jaksa melaksanakan isi
putusan hakim tersebut.
Apabila
putusan hakim berupa pidana penjara, maka jaksa membawa terpidana ke Lembaga
Pemasyarakatan untuk menjalani pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Apabila
putusan hakim berupa pidana mati, maka pelaksanaan pidana mati dilakukan 30
(tiga puluh) hari setelah putusan dijatuhkan kepada terpidana untuk memberikan
kesempatan terpidana mengajukan grasi kepada Presiden. Pidana mati
dilaksanakan oleh regu tembak yang ditunjuk oleh negara (pemerintah). Apabila
terpidana mengajukan grasi kepada Presiden, maka pelaksanaan pidana mati
dilakukan setelah grasi ditolak oleh Presiden.
Apabila
putusan hakim berupa bebas, artinya membebaskan terdakwa dari segala dakwaan,
maka jaksa segera membebaskan terdakwa dengan mengembalikan seluruh hak-hak
terdakwa yang dibekukan selama pemeriksaan dan memulihkan nama baiknya.
2.Pemeriksaan
Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum
Selain Proses Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Peradilan Umum juga ada Proses Penanganan Perkara Pedata di Lingkungan Peradilan Umum. Untuk
acara peradilan perkara perdata diatur dalam HIR (Het Herzein Inlands
Reglement, Staatsblad 1848 Nomor 16, Staatsblad 1941
Nomor 44) dan RBg (Reglement de Buitengewesten, Staatsblad 1927
Nomor 227).
Pemeriksaan
perkara perdata di Pengadilan Negeri diawali dengan diajukannya gugatan oleh
seseorang sebagai penggugat, dan gugatan tersebut ditujukan kepada tergugat
yaitu mereka yang digugat oleh penggugat.
Gugatan
yang diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri. Bagi yang tidak
bisa menulis dapat diajukan secara lisan lewat Panitera Pengadilan Negeri yang
bersangkutan (Pengadilan Negeri di mana tergugat bertempat tinggal atau objek
sengketa berada). Surat gugatan berisi identitas para pihak, baik penggugat
maupun tergugat, alasan-alasan diajukannya gugatan beserta dasar hukumnya
(fundamentum petendi) dan tuntutan atau petitum.
Identitas
para pihak yang dimaksud adalah nama, tempat tinggal, umur, serta status
pribadi dari penggugat dan tergugat. Sedangkan fundamentum
petendi atau alasan-alasan diajukannya gugatan beserta dasar hukumnya yang
dimaksud adalah dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum dari berbagai
hal yang berkaitan dengan persoalan yang ada serta alasan-alasan dari tuntutan. Fundamentum
petendi ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama berisi uraian
tentang kejadian-kejadian atau peristiwa yang merupakan penjelasan duduk
perkaranya, dan bagian kedua berisi uraian tentang hukumnya yaitu uraian
tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari
tuntutan. Di samping itu juga disertai petitum, yaitu tuntutan yang
diajukan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim. Tuntutan yang diajukan oleh
penggugat harus jelas dan tegas, karena tuntutan yang tidak jelas akan menjadikan
alasan tidak diterimanya tuntutan tersebut oleh hakim.
Setelah
gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, maka Ketua Pengadilan Negeri
menunjuk majelis hakim yang menyidangkan gugatan (perkara) yang masuk tersebut.
Kemudian hakim menentukan hari sidang dan diberitahukan kepada penggugat dan
tergugat untuk datang ke sidang. Saat hari sidang, hakim ketua membuka sidang
terbuka untuk umum, dan memanggil para pihak untuk hadir di depan sidang.
Setelah penggugat dan tergugat menghadap hakim di depan sidang, kemudian hakim
ketua mencocok-kan identitas para pihak baik penggugat maupun tergugat, atau
wakilnya (penasihat hukumnya), lalu menanyakan kepada tergugat apakah sudah
mengerti mengapa ia digugat dan agar tergugat mempelajari isi gugatan. Setelah
itu tergugat dipersilahkan oleh hakim untuk membuat jawaban atas gugatan
penggugat, biasanya untuk membuat jawaban atas gugatan penggugat, tergugat
meminta waktu kepada hakim dan sidang akan ditunda oleh hakim untuk waktu
paling lama 7 hari.
Bilamana
jawaban tergugat sudah diserahkan pada sidang berikutnya, maka penggugat
dipersilahkan oleh hakim untuk membuat bantahan atas jawaban tergugat, yang
sering disebut replik. Atas replik penggugat, maka tergugat akan
membuat duplik, yaitu jawaban atas replik.
Setelah
jawab-menjawab telah dianggap selesai oleh hakim, maka dilanjutkan dengan
pembuktian. Masing-masing pihak, baik penggugat dan tergugat mengajukan
bukti-bukti, baik berupa surat-surat, akta otentik, barang bukti yang lain
maupun saksi-saksi.
Alat
bukti yang dapat digunakan dalam acara pemeriksaan perkara perdata antara lain:
a. Alat
bukti tertulis atau surat
Yaitu segala sesuatu
yang memuat tanda-tanda bacaan yang di-maksudkan untuk mencurahkan isi hati
atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian. Surat sebagai alat bukti dapat berupa akta dan surat-surat lain
bukan akta.
Akta adalah surat
yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula sengaja untuk
tujuan pembuktian. Sedangkan surat-surat lain bukan akta contohnya adalah buku
daftar, surat-surat rumah tangga, dan surat-surat pribadi lainnya. Kekuatan
pembuktian pada surat yang bukan akta diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan
hakim.
b. Saksi
Saksi sebagai alat
bukti memberikan kesaksian, yaitu kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan
secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara
dan yang dipanggil di persidangan. Keterangan saksi harus disampaikan secara
lisan dan pribadi, artinya keterangan saksi tidak dapat diwakilkan. Sebelum
memberikan keterangannya, saksi wajib bersumpah atau berjanji. Saksi memberikan
keterangannya atas dasar yang dilihatnya sendiri, didengarnya sendiri dan
dialaminya sendiri mengenai peristiwanya. Saksi yang mendengar dari orang lain
bukanlah saksi atau disebut juga testimonium de
auditu.
Yang
tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi ialah:
1) keluarga
sedarah dan semenda menurut garis keturunan lurus dari salah satu pihak,
2) suami
atau istri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai,
3) anak-anak
yang belum mencapai umur 15 (lima belas) tahun,
4) orang
gila, meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Sedangkan
yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi adalah:
1) saudara
laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu
pihak,
2) keluarga
sedarah menurut garis keturunan lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari
suami atau istri salah satu pihak,
3) semua
orang yang karena martabat dan jabatan atau hubungan kerja yang sah diwajibkan
menyimpan rahasia, akan tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan
kepadanya karena martabat dan jabatan atau hubungan kerja yang sah.
c. Persangkaan
Persangkaan
sebagai alat bukti adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau
hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah peristiwa lain
yang belum terang kenyataannya. Ada dua persangkaan, yaitu persangkaan yang
didasarkan atas undang-undang (praesumptiones juris) dan persangkaan yang
merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari hakim atau persangkaan yang
didasarkan atas kenyataan (praesumptiones facti).
Persangkaan
yang berdasarkan undang-undang tidak memerlukan bukti lawan, yaitu yang dapat
menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu. Persangkaan yang
tidak memerlukan bukti lawan pada hakikatnya bukanlah persangkaan.
d. Pengakuan
Pengakuan
sebagai alat bukti merupakan keterangan sepihak yang tidak memerlukan
persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan
suatu peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan. Pengakuan
dapat digolongkan menjadi pengakuan yang diberikan di luar sidang dan pengakuan
yang diberikan di depan sidang pengadilan. Pengakuan yang diberikan di depan
sidang pengadilan tidak dapat ditarik kembali, kecuali apabila pengakuan itu
adalah sebagai akibat kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi dan bukan
kekeliruan tentang hukumnya.
Pengakuan
yang diberikan di luar sidang tidak merupakan bukti yang mengikat, tetapi
merupakan bukti bebas, artinya diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim
untuk menerima ataupun tidak. Pengakuan lisan di luar persidangan tidak dapat
digunakan selain dalam hal-hal diizinkan membuktikannya dengan saksi. Pengakuan
tertulis di luar persidangan merupakan alat bukti tertulis.
e. Sumpah
Sumpah
merupakan suatu tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.
Sumpah pada hakikatnya merupakan pernyataan khidmat yang diberikan atau
disampaikan pada waktu memberi keterangan dengan mengingat sifat kebesaran
Tuhan Yang Maha Esa dan percaya bahwa yang memberikan keterangan tidak benar
akan mendapat hukuman dari-Nya. Sumpah sebagai alat bukti dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu sumpah pelengkap (suppletoir), sumpah pemutus (decisoir),
dan sumpah penaksiran (aestimatoir).
Alat-alat
bukti sebagaimana tersebut di atas merupakan alat bukti yang membantu keyakinan
hakim untuk menemukan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Dengan alat bukti
tersebut hakim menjadi yakin akan kebenaran peristiwa perdata yang diajukan
kepadanya, sehingga hakim dapat mengambil keputusan dengan adil sesuai fakta
yang terjadi. Namun demikian, untuk lebih menguatkan keyakinannya, hakim dapat
melakukan pemeriksaan setempat (descente) dan meminta keterangan seorang ahli.
Yang
dimaksud pemeriksaan setempat (descente) adalah pemeriksaan mengenai perkara
oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung pengadilan, agar
hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi
kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa. Dalam praktik biasanya pemeriksaan
setempat dilakukan berkenaan dengan letak gedung/rumah atau letak tanah yang
menjadi objek sengketa. Sedangkan yang dimaksud keterangan ahli adalah
keterangan pihak ketiga yang objektif yang bertujuan membantu hakim dalam
pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Pada umumnya hakim
menggunakan keterangan ahli agar memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam
tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu, misalnya
hal-hal yang berkaitan dengan teknis dalam lalu lintas dagang, atau hal-hal
yang berkaitan dengan siapa penemu sesuatu itu sebenarnya berdasarkan ilmu
pengetahuan tertentu.
Sebagai
contoh dapat dikemukakan sebagai berikut!
A
sebagai penggugat telah menggugat B, karena B dianggap oleh A telah memproduksi
barang hasil ciptaannya sehingga A dirugikan jutaan rupiah. Namun B merasa
bahwa barang yang diproduksinya itu bukanlah barang ciptaan A, tetapi barang
tersebut sudah menjadi milik umum (milik publik) dan penciptanya adalah orang
asing yang sudah diciptakan lebih dari 20 tahun yang lalu. Nah, untuk
menguatkan pendapatnya, maka B dengan persetujuan hakim mengajukan seorang ahli
yang mengetahui benar tentang barang tersebut berdasarkan sejarahnya.
Apabila
pembuktian telah dilakukan dalam sidang perkara perdata, maka masing-masing
pihak dipersilahkan oleh hakim untuk membuat kesimpulan dari pemeriksaan sidang
yang telah dilakukan. Kemudian hakim menutup sidang untuk musyawarah mengambil
keputusan. Setelah majelis hakim memperoleh kesepakatan, maka sidang dibuka kembali
untuk pembacaan putusan hakim.
Putusan
hakim dibacakan secara terbuka, artinya bahwa putusan hakim disampaikan pada
sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Semua orang dapat mendengar dan
melihat pembacaan putusan hakim tersebut, sehingga dengan demikian semua orang
dapat menilai isi putusan tersebut.
Susunan
dan isi putusan hakim terdiri dari empat bagian, yaitu bagian kepala putusan,
identitas para pihak, pertimbangan, dan amar putusan.
Bagian
kepala putusan berbunyi: “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Kepala putusan tersebut memberi kekuatan eksekutorial artinya dapat
dilaksanakan, dan apabila tidak ada kepala putusan tersebut, maka hakim tidak
dapat melaksanakan putusan tersebut. Bagian kedua memuat identitas para pihak,
yaitu: nama, umur, alamat, dan nama dari para pengacaranya atau pembelanya bila
ada. Bagian ketiga adalah pertimbangan atau considerans yang memuat
tentang duduk perkaranya atau peristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya.
Jadi dalam bagian pertimbangan ini hakim mengemukakan alasan-alasan mengapa
sampai mengambil putusan demikian. Sedangkan bagian keempat yaitu amar atau
diktum, yang memuat penetapan daripada hubungan hukum yang menjadi sengketa dan
hukumannya, yakni mengabulkan atau menolak gugatan.
Setiap
putusan hakim harus ditandatangani oleh hakim ketua dan hakim anggota serta
panitia. Putusan hakim yang telah disampaikan atau dibacakan secara terbuka
oleh hakim memiliki konsekuensi yang kuat, artinya putusan hakim tersebut
mempunyai kekuatan mengikat, mempunyai kekuatan pembuktian dan mempunyai
kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan.
Putusan
hakim mempunyai kekuatan mengikat, maksudnya adalah bahwa putusan hakim
tersebut mengikat bagi para pihak yang bersengketa. Sedangkan putusan hakim
mempunyai kekuatan pembuktian, maksudnya ialah bahwa putusan hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis merupakan akta otentik yang tidak lain
bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, dan yang
dimaksud dengan putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial atau kekuatan
untuk dilaksanakan ialah kekuatan untuk dilaksanakan-nya apa yang ditetapkan
oleh hakim dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.
Terhadap
putusan hakim yang telah dibacakan dan disampaikan kepada para pihak yang
bersengketa, maka para pihak dapat atau berhak untuk menerima ataupun menolak
putusan hakim tersebut. Apabila para pihak menerima putusan tersebut, maka
putusan tersebut dapat dilaksanakan dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun
jika para pihak tidak bisa menerima putusan hakim tersebut, maka dapat
mengajukan upaya hukum banding. Terhadap putusan hakim yang diajukan upaya
hukum mengakibatkan putusan tersebut belum dapat dilaksanakan hingga menunggu
selesainya proses upaya hukum selesai diputuskan oleh hakim yang berwenang
memutus upaya hukum tersebut.
Upaya
hukum yang dapat diajukan atas putusan Hakim Pengadilan Negeri adalah upaya
hukum banding. Upaya hukum banding diajukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi
melalui Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam jangka waktu
14 (empat belas) hari terhitung mulai hari berikutnya saat putusan hakim
disampaikan kepada para pihak. Permohonan banding dapat diajukan secara lisan
maupun secara tertulis dan dapat pula disertai memori banding atau
alasan-alasan pengajuan banding.
Apabila
Pengadilan Tinggi telah memeriksa permohonan banding kemudian menjatuhkan
putusan, maka terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut para pihak bisa
menolak atau menerima putusan. Bila terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut
diterima oleh para pihak, maka putusan tersebut dapat dilaksanakan, namun bila
para pihak tidak bisa menerima putusan tersebut, maka para pihak dapat
mengajukan upaya hukum kasasi.
Permohonan
kasasi diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Panitera Pengadilan Negeri
yang memutus perkara pada tingkat pertama dalam jangka waktu 21 (dua puluh
satu) hari atau tiga minggu untuk daerah Jawa dan Madura sedangkan untuk luar
Jawa dan Madura dalam jangka waktu 6 (enam) minggu terhitung sejak diterimanya
putusan banding Pengadilan Tinggi oleh para pihak. Permohonan kasasi dapat
diajukan secara lisan maupun secara tertulis dan wajib disertai memori kasasi
atau alasan-alasan yang mendasari diajukannya kasasi.
Pemeriksaan
di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung berkaitan dengan pemeriksaan penerapan
hukumnya dan bukan pada faktanya, sedangkan pemeriksaan banding di Pengadilan
Tinggi terkait dengan faktanya. Oleh karena itu, permohonan kasasi harus
disertai alasan-alasan kasasi (memori kasasi) yang terkait dengan penerapan
hukumnya, yaitu:
a. apakah hakim lalai memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh undang-undang atau hukum yang berlaku,
b. apakah hakim melampaui batas
wewenangnya, dan
c. apakah hakim salah menerapkan
hukum yang berlaku.
Putusan
kasasi yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung merupakan puncak putusan terhadap
sengketa yang terjadi antara para pihak. Oleh karena itu, kasasi merupakan
pemeriksaan akhir dari perkara perdata yang terjadi, sehingga setelah putusan
terhadap kasasi dijatuhkan, maka putusan tersebut harus dilaksanakan atau
putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Demikian pembahsan tentang Proses Penanganan Perkara Di Lingkungan Peradilan Umum. Semoga ada manfaatnya
No comments
Post a Comment