BahanAjar
Sistem Politik di Indonesia
Substansi
politik adalah keputusan politik, karena keputusan politik itu bersifat
otoritif (sah dan mengikat masyarakat secara keseluruhan) dan berlakunya dapat
dipaksakan. Keputusan politik meliputi kebijakan umum/publik dan keputusan yang
menyangkut orang-orang yang akan menyelenggarakan kebijakan publik (penjahat
pemerintah). Kebijakan publik merupakan program yang dilaksanakan untuk
mencapai tujuan masyarakat/negara. Patokan atau acuan dalam suatu pengambilan
keputusan politik adalah ideologi, konstitusi, undang-undang, ketersediaan
anggaran, sumber daya manusia, efektivitas dan efisiensi, etika dan moral yang
hidup dalam masyarakat, dan agama.
Dilihat
dari segi isi dan prosedur pembuatan keputusan politik dikenal 3 tipe, yaitu keputusan
rutin, keputusan darurat, dan keputusan bukan keputusan (Ramlan Surbakti,
1992). Keputusan rutin berisi upaya mengatasi dan mengatur permasalahan yang
kompleks, dan penyusunannya memerlukan waktu relatif lama. APBN dan
Undang-undang pokok di Indonesia dapat digolongkan sebagai keputusan rutin.
Keputusan
darurat, merupakan keputusan di buat untuk mengatasi suatu keadaan darurat yang
perlu penanganan segera. Seperti keputusan untuk menghadapi perang dari luar,
bencana alam, kekacauan politik, konflik sosial, dan kekacauan ekonomi.
Sedangkan yang dimaksud keputusan bukan keputusan, untuk memberikan istilah
pada keputusan yang sebenarnya tidak mengandung konsekuensi secara hukum,
bersifat vertikal dan kalaupun bersifat tertulis dimaksudkan hanya untuk
menenangkan masyarakat. Keputusan ini sama sekali tidak disertai kehendak
politik yang kuat untuk mewujudkannya.
Sistem
politik merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan politik dipandang
sebagai sistem. Setiap sistem memiliki sifat:
a. terdiri dari banyak bagian-bagian
b. bagian-bagian itu saling berinteraksi dan
saling tergantung
c. sistem itu memiliki perbatasan (boundaries)
yang memisahkan dengan lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain;
Bagian
atau unsur sistem politik yang bersifat universal adalah fungsi politik dan struktur
politik. Menurut Gabriel A.Almond (dalam Muchtar Mas’oed, 1981) ilmuwan politik
yang mendalami tentang sistem politik, fungsi politik dalam sistem politik
dapat dibagi dalam dua bagian yaitu fungsi input dan fungsi output. Fungsi
input meliputi: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, sosialisasi
politik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik.
Artikulasi
kepentingan, yaitu pernyataan aspirasi atau kepentingan masyarakat, terutama
dilakukan oleh kelompok kepentingan (organisasi sosial keagamaan, profesi,dan
kelompok masyarakat yang lain). Agregasi kepentingan dimaksudkan kegiatanuntuk
memadukan berbagai kepentingan masyarakat yang bermacam-macam bahkan
bertentangan satu sama lain untuk diperjuangkan menjadi suatu kebijakan publik.
Agregasi kepentingan merupakan kelanjutan dari artikulasi kepentingan dan
terutama dilakukan oleh partai politik. Sosialisasi politik, merupakan proses
pengalihan (transformasi) nilai-nilai politik agar terbentuk
pandangan/orientasi, sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai politik yang
berlaku dalam masyarakat/sistem politik nasional. Misalnya, di Indonesia yang
menganut sistem politik demokrasi Pancasila, maka nilai-nilai politik yang
ditransformasikan adalah nilai-nilai politik yang terdapat dalam demokrasi
Pancasila, seperti: keseimbangan diantara hak dan kewajiban, mengutamakan
musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan
bersama/publik, berpolitik yang etis (religius, menghargai HAM, menjunjung
persatuan, demokratis, dan untuk kepentingan kesejahteraan umum). Sosialisasi
politik ini, terutama dilakukan partai politik, disamping dapat dilakukan oleh
keluarga, masyarakat, sekolah (terutama melalui mata pelajaran Kewarganegaraan),
dan pemerintah. Komunikasi politik, merupakan proses penyampaian informasi
politik dari pemerintah kepada rakyat atau dari rakyat kepada pemerintah.
Komunikasi
politik terutama dilakukan oleh partai politik, partai politik perlu
menerjemahkan informasi yang mudah dipahami oleh pemerintah dan masyarakat agar
terjadi komunikasi interaktif dan efektif antara pemerintah dan masyarakat.
Informasi politik yang dikomunikasikan misalnya: mengenai program kerja
pemerintah pemenang pemilu, keresahan rakyat atas lemahnya penegakan hukum oleh
pemerintah, dan informasi kebijakan publik yang lain. Sedangkan yang dimaksud rekrutmen
politik, yakni proses seleksi dan pengangkatan seseorang atau kelompok untuk
melakukan sejumlah peran dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah
khususnya, misalnya partai politik menempatkan para kadernya untuk menjadi
anggota legislatif (DPR/DPRD), di eksekutif untuk menjadi menteri,
diikutsertakan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk menduduki posisi
sebagai gubernur, bupati/wali kota.
Fungsi
output meliputi: pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penghakiman
kebijakan. Pembuatan kebijakan dimaksudkan proses untuk mengambil keputusan
dari berbagai alternatif yang ada yang berupa program untuk mewujudkan tujuan
yang berkaitan dengan kepentingan publik. Penerapan kebijakan merupakan
implementasi/pelaksanaan dari kebijakan publik yang telah dihasilkan dari
proses pembuatan kebijakan. Sedangkan proses penghakiman kebijakan merupakan
penjamin agar kebijakan dilaksanakan sesuai dengan tujuan pembuatan kebijakan.
Penghakiman kebijakan merupakan kegiatan untuk penegakkan peraturan.
Struktur
politik didefinisikan sebagai suatu pola interaksi yang dianggap sah, dengan
mana tata masyarakat dipertahankan dan dipelihara. Dengan kata lain struktur
politiklah yang menjalankan fungsi-fungsi politik (fungsi input dan fungsi
output). Struktur-struktur politik terdiri atas kelompok kepentingan, partai
politik, birokrasi,badan legeslatif, badan eksekutif, dan badan peradilan.
Idealnya, setiap struktur politik memiliki fungsi politik yang khas
(spesialisasi fungsionil). Misalnya, kelompok kepentingan menjalankan
artikulasi kepentingan, partai politik mengagregasikan kepentingan, badan
legeslatif dan eksekutif merumuskan kebijakan strategis seperti UU dan
eksekutif merumuskan kebijakan teknis, seperti PP, Keppres, dan birokrasi yang
melaksanakan kebijakan.
Dengan
kata lain, fungsi input dijalankan oleh struktur politik masyarakat (infra
struktur politik) seperti: partai politik, kelompok kepentingan (misal:
organisasi sosial keagamaan, organisasi profesi, LSM dan organisasi
kemasya-rakatan yang lain), pers, tokoh politik, tokoh masyarakat, dan warga
negara secara individual. Sedangkan fungsi output merupakan monopoli
struktur-struktur politik legal formil, seperti badan legislatif/parlemen,
eksekutif, yudikatif, dan birokrasi, sehingga fungsi ini disebut pula sebagai
fungsi pemerintahan (suprastruktur politik).
2. Cara Kerja Sistem Politik
Cara
kerja sistem politik dapat digambarkan bermula dari proses politik dengan
masuknya input, input yang berupa kepentingan diartikulasikan atau dinyatakan
oleh kelompok kepentingan dan diagregasikan atau dipadukan oleh partai politik
sehingga kepentingan-kepentingan yang khusus itu menjadi usul kebijakan yang
lebih umum, dan selanjutnya dimasukkan dalam proses pembuatan kebijakan yang
dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif. Tahap perubahan input menjadi
output (kebijakan) ini disebut tahap konversi. Tahap pembuatan kebijakan ini
merupakan inti dari keseluruhan proses politik. Kebijakan ini kemudian
dilaksanakan oleh birokrasi. Untuk menjamin kebijakan itu dilaksanakan secara
sungguh-sungguh sehingga menjadi kenyataan dijamin oleh adanya fungsi
penghakiman yang dijalankan oleh badan peradilan.
Dengan
kata lain secara ringkas dapat digambarkan bahwa kerja sistem politik dari
input berupa tuntutan kepentingan diubah menjadi output berupa kebijakan, yang
selanjutnya melalui umpan balik, masuk kembali ke dalam sistem politik dalam
ujud tuntutan kepentingan baru, dan demikian selanjutnya.
3. Infra Struktur dan Supra Struktur Politik
di Indonesia
Dasar
negara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan produk hasil
musyawarah para pendiri negara/tokoh-tokoh bangsa kita dari berbagai ras, suku,
aliran, dan latar belakang sosial-ekonomi, dan pendidikan yang berbeda seperti
yang terlihat pada sidang-sidang BPUPKII dan PPKI. Musyawarah itu dilaksanakan
dalam suasana terbuka, saling berdebat/tukar pikiran, berdialog, hangat,
tajam/kritis, tetapi tetap dikendalikan oleh rasa tanggung jawab untuk mencari
kebenaran bersama sehingga keputusan bersama pengambilan (konsensus) dapat
dicapai. Berdebat dalam musyawarah penting sebagai dasar keputusan bersama,
jika hal ini tidak ada berarti keputusan yang diambil bersifat dipaksakan dan
keadaan seperti ini berlaku dalam sistem politik otoriter/totaliter. Debat
kusir atau debat berkepanjangan tanpa arah/tujuan maupun bersitegang menganggap
hanya pandangannya yang paling benar dapat menimbulkan anarkisme. Hal ini dapat
membahayakan keutuhan kehidupan bersama.
Keinginan
para pendiri/tokoh bangsa, agar bangsa kita mempraktikkan konsep atau
mengamalkan nilai musyawarah-mufakat, yang terdapat dalam sila keempat dari
Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” (Alfian, 1993). Rumusan sila keempat ini, secara
jelas menunjukkan negara Indonesia menganut sistem demokrasi. Hal ini dapat
dipahami dari definisi kerakyatan yang dikemukakan Notonagoro ahli filsafat
Pancasila terkemuka Indonesia (dalam Mubyarto, 2004) bahwa kerakyatan dari sila
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakan dalam permusyawaratan/perwakilan
adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat, sebagai pendukung kekuasaan (demokrasi
politik) dan pendukung kepentingan fungsional (demokrasi fungsional) dalam
lapangan kenegaraan atas dasar tritunggal “negara dari rakyat, bagi rakyat, dan
oleh rakyat”.
Di
samping itu, masih menurut Notonagoro sila keempat harus dipahami dalam susunan
Pancasila. “Susunan Pancasila adalah hirarkis dan mempunyai bentuk piramida”.
Dengan susunan yang demikian, maka antara lima sila ada hubungan yang mengikat
antara sila satu dengan yang lain, sehingga Pancasila merupakan suatu kesatuan
yang bulat. Jadi kalau masing-masing sila terpisah satu sama lain, tidak ada
hubungan yang mengikat maka dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud,
sehingga sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada Pancasila. Dalam susunan
hirarkis dan piramida , maka Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “sebab yang
pertama” (causa prima) sehingga menjadi basis daripada kemanusiaan, persatuan
Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya
mengandung sila yang lainnya.
Dengan
demikian setiap proses politik dalam kerangka sistem politik demokrasi
Pancasila terutama dalam perumusan, pembuatan, pelaksanaan dan penegakkan
keputusan politik bersifat religius, menjunjung tinggi martabat manusia (hak
asasi manusia), memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa (Bhineka Tunggal
Ika), dan untuk meningkatkan kesejahteraan umum/masyarakat. Kemudian penerapan
sistem politik demokrasi Pancasila dalam kehidupan bernegara didasarkan pada
konstitusi (UUD 1945). Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam UUD 1945 pasca
amandemen. Yaitu dalam Bab I Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1:
1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang
berbentuk Republik
2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.
3) Negara Indonesia adalah negara hukum
Pelaksanaan
Demokrasi Pancasila dalam Pengambilan Keputusan
Pengambilan
keputusan dalam demokrasi Pancasila menggunakan cara: (1) Musyawarah mufakat,
dan (2) Suara terbanyak. Baik musyawarah mufakat maupun suara terbanyak,
keduanya merupakan cara pengambilan keputusan untuk mencapai konsensus.
Perbedaan antara keduanya terletak pada bagaimana cara proses untuk mencapai
konsesus. Pengambilan keputusan dengan cara musyawarah mufakat melalui proses
perubahan pendapat dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik (perbedaan
pendapat) untuk menemukan titik temu yang disepakati sebagai dasar pengambilan
keputusan. Sedangkan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak, konflik yang
terjadi diselesaikan melalui pemungutan suara terbanyak (voting). Pendapat yang
memperoleh suara terbanyak menjadi pendapat bersama sehingga perbedaan pendapat
dapat diselesaikan.
Muswadi
Rauf (2000) salah satu ilmuan politik Indonesia terkemuka mengemukakan dikenal
4 (empat) macam model konsensus yang didasarkan atas musyawarah untuk mufakat
yang terhadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik (perbedaan
pendapat) yaitu sebagai berikut:
1. Model Konsensus Pendapat Internal
Dalam model ini
konsensus dibangun atas gabungan dari butir-butir pendapat dari pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik. Oleh karena itu, konsensus ini sering disebut
konsensus pendapat internal. Prosesnya sebagai berikut:
a. Musyawarah untuk mencari butir-butir pendapat
yang disetujui oleh masing-masing pihak yang terlibat konflik.
b. Musyawarah mencari butir-butir pendapat yang
disetujui oleh semua pihak dan membuang butir-butir pendapat yang tidak
disepakati. Dalam proses ini akan terjadi tawar menawar dari pihak-pihak
terlibat konflik karena harus ada kesediaan setiap pihak untuk membuang
butir-butir pendapat sendiri yang tidak disetujui pihak lain dan menerima
pendapat pihak lain yang semula tidak disetujui. Oleh karena itu proses
musyawarah untuk mencapai konsensus adalah sesuatu yang tidak mudah. Diperlukan
waktu dan tenaga yang banyak untuk mencari titik temu. Namun model ini dapat
menghasilkan konflik dan sekaligus juga dapat menuntaskan konflik di
masyarakat.
2. Model Konsensus Pendapat Dominan
Dalam model ini konsensus
dibangun atas disepakatinya pendapat dari salah satu pihak yang terlibat dalam
konflik. Cara konsensus ini dikenal sebagai konsensus pendapat dominan.
Konsensus ini pada umumnya terjadi apabila yang terlibat konflik lebih dari dua
pihak. Karena besarnya perbedaan
pendapat di antara mereka, dan setelah musyawarah tidak mencapai hasil, bisa
saja muncul pendapat yang menganggap bahwa pendapat salah satu pihak dianggap
baik untuk dijadikan konsensus.
3. Model Konsensus Pendapat Luar
Dalam model ini konsensus
dibentuk dari pendapat-pendapat lain di luar pihak yang terlibat konflik atau
bukan dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Konsumen seperti ini dapat
dinamakan konsensus pendapat luar. Digunakannya pendapat luar ini disebabkan
karena adanya kesulitan dari pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima
pendapat dari masing-masing pihak yang berkonflik. Hal ini terjadi karena
perbedaan pendapat yang sangat tajam diantara pihak-pihak yang berkonflik,
namun pihak-pihak yang berkonflik melihat ada butir-butir pendapat dari pihak
lain di luar pihak yang berkonflik yang bisa mereka setujui. Pihak lain bisa
saja mediator atau pihak lain di mana pun juga yang ada dalam masyarakat.
4. Model Konsensus Gabungan
Model ini merupakan
gabungan dari berbagai model konsensis yang dibahas di atas. Dalam model ini
digunakan butir-butir pendapat tertentu yang dianut oleh pihak-pihak yang
terlibat konflik, di samping butir-butir pendapat lain yang berasal dari
pihak-pihak lain yang tidak terlibat konflik. Diterimanya butir-butir tertentu
dari pihak lain, menunjukkan ada kesulitan dari pihak-pihak yang terlibat
konflik untuk menerima butir-butir pendapat mereka sendiri. Sebagai cara untuk
menghasilkan konsensus, mereka menggunakan pendapat pihak lain yang dapat
disetujui bersama.
Sedangkan
pengambilan keputusan dengan suara terbanyak dalam demokrasi Pancasila menganut
tiga formula. Formula pertama, persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR
yang hadir dalam hal pengambilan keputusan untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR. Formula kedua, pengambilan keputusan
dengan suara terbanyak 50% + 1 (mayoritas mutlak) dari seluruh jumlah anggota
MPR dalam hal menetapkan atau mengubah UUD 1945.
Formula
ketiga, pengambilan keputusan dengan suara terbanyak di luar pengambilan
keputusan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden dan penetapan/pengubahan UUD
1945. Misalnya, dalam pengambilan keputusan menerima/menolak suatu RUU menjadi
UU; menerima/menolak dimasukkannya pasal-pasal tertentu dalam UU.
B. PERBEDAAN SISTEM POLITIK DI BERBAGAI
NEGARA
Istilah
yang sering kita jumpai dalam kehidupan politik yakni mengenai corak atau
macam-macam sistem politik, kita mengenal sistem politik otoriter, sistem
politik demokrasi, sistem politik totaliter dan sistem politik liberal.
Penggolongan
macam-macam sistem politik tersebut didasarkan pada kriteria yaitu siapa yang
memerintah dan ruang ligkup jangkauan kewenangan pemerintah. Kriteria ini
dikemukakan oleh Carter dan Herz (dalam Ramlan Surbakti, 1992). Apabila pihak
yang memerintah terdiri atas beberapa orang atau kelompok kecil orang maka
sistem politik ini disebut “pemerintahan dari atas” atau lebih tegas lagi
disebut oligarki, otoriter, ataupun aristokrasi. Di lain pihak, apabila pihak
yang memerintah terdiri atas banyak orang, maka sistem politik ini disebut demokrasi.
Kemudian apabila kewenangan pemerintah pada prinsipnya mencakup segala sesuatu
yang ada dalam masyarakat, maka rezim ini disebut totaliter. Sedangkan apabila
pemerintah memiliki kewenangan yang terbatas yang membiarkan beberapa atau
sebagian besar kehidupan masyarakat
mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah dan apabila
kehidupan masyarakat dijamin dengan tata hukum yang disepakati bersama, maka
rezim ini disebut liberal.
Macam
sistem politik juga bisa dilihat dari sudut historis dan perkembangan sistem
politik (Ramlan Surbakti, 1992). Dari sudut penglihatan ini, maka dikenal
perkembangan sistem politik dari otokrasi tradisional ke otoriter dan sampai
pada demokrasi. Disamping itu, berkembanglah sistem politik di negara-negara
berkembang yang sangat dipengaruhi oleh kultur dan struktur masyarakat
setempat, maupun yang dikembangkan berdasarkan kombinasi unsur-unsur terbaik
dari ketiga sistem tersebut (otokrasi tradisional, totaliter dan demokrasi).
1. Sistem Politik Otokrasi Tradisional
a. Menekankan stratifikasi ekonomi daripada
persamaan.
b.
Menekankan pada perilaku yang menuruti kelompok kecil penguasa daripada
kebebasan individu.
c. Menekankan kebutuhan moril dan nilai-nilai
moral daripada kebutuhan materiil.
d. Menekankan pada kolektivisme yang berdasarkan
kekerabatan daripada individualisme,
e. Faktor primordial (seperti suku bangsa, ras,
dan agama) sebagai pemersatu masyarakat, yang acapkali terjelma dalam pribadi
pemimpin yang dominan (otokrat) seperti sultan, raja, atau kaisar menjadi
identitas bersama.
f. Otokrat memerintah berdasarkan tradisi dan
paksaan,
g. Distribusi kekuasaan terbatas pada
sekelompok kecil orang yang berada di sekitar otokrat, seperti kaum bangsawan,
tentara, tuan tanah, dan pemuka agama/alim ulama. Merekalah yang terlibat dalam
proses pembuatan kebijakan, karena kelompok sosial modern seperti kelompok
kepentingan, partai politik, dan media massa belum berkembang,
h.
Partisipasi politik dari masyarakat (petani) belum berkembang, karena mereka
miskin, buat huruf, terkungkung dengan tradisi,dan dikuasai oleh tuan tanah,
i.
Legitimasi kewenangan otokrat bersumber dan berdasarkan tradisi (keturunan dari
pemimpin terdahulu yang dipandang oleh masyarakat sebagai orang yang harus
memerintah karena asal-usul dan kualitas pribadinya).
j. Ada jurang politik (kekuasaan) yang lebar
antara penguasa dan penduduk pedesaan. Juga jurang ekonomi yang lebar antara
otokrat dan kelompok kecil (elit) penguasa yang mengitarinya, yang sekaligus pemegang kekayaan, dan massa petani
yang tak memiliki apa-apa selain tenaga mereka.
2. Sistem
Politik Totaliter
Sistem politik
totaliter menekankan konsensus total di dalam masyarakat dengan cara
indoktrinasi ideologi dan paksaan, dan juga melakukan konflik total dengan
musuh-musuhnya di dalam maupun di luar
negeri. Sistem politik ini dibedakan menjadi dua, yaitu komunis dan fasis. Komunisme
merupakan pemberontakan besar pertama dalam abad kedua puluh terhadap sistem
ekonomi yang kapitalis dan liberal. Komunisme mrupakan pengaturan pemerintahan
dan masyarakat secara totaliter dengan suatu kediktatoran yang mewakili kaum
proletar (pekerja). Contoh negara yang masih menerapkan sistem politik komunis
adalah RRC (Republik Rakyat Cina), Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan Albania.
Negara-negara Eropa Timur (Jerman Timur, Polandia, rumania, Cekoslawakia, dan
Bulgaria) dan Uni Soviet telah meninggalkan sistem politik komunis pada tahun
1989 dan 1991.
Fasisme merupakan
pemberontakan kedua terhadap sistem ekonomi kapitalis dan liberal maupun
terhadap komunisme. Fasisme merupakan pengaturan pemerintahan dan masyarakat
secara totaliter dengan suatu keditatoran tunggal yang sangat nasionalitis,
rasialis, militeristis, dan imperialistis. Contoh negara-negara yang pernah
menerapkan fasisme adalah Jermandi bawah Hitler dengan Nazi-nya, Italia dibawah
Musollini, Jepang dengan Dai ToAnya dan kerja sama militer dan Zaibatsu,
Spanyol di bawah Generalisimo Franco, dan rezim aparheit Afrika Selatan.
Komunisme dan fasisme
keduanya masuk dalam sistem politik totaliter, tetapi mendasarkan pada hal
berbeda. Fasisme didasarkan pada nasionalisme yang chauvanistik, rasialis, dan
militeristis (negara polisi), sedangkan komunisme lebih mendasarkan diri pada
ideologi komunisme yang doktriner dan bersifat eskatalogis (masyarakat tanpa
kelas, sama rata sama rasa). Berikut ini diuraikan sistem politik komunis dan
fasisme.
a. Sistem Politik
Komunis
Sistem
politik komunis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Menerapkan prinsip sama rata sama rasa dalam
bidang ekonomi, sehingga menekankan jaminan pemenuhan kebutuhan materiil
khususnya kebutuhan pokok.
2) Sekularisme
yang radikal dengan menggantikan agama dengan ideologi komunis sebagai faktor
sakral yang mempersatukan masyarakat dan bersifat doktriner dan eskatologis.
3) Kebebasan politik individu dan hak-hak sipil
untuk mengkritik penguasa partai tidak dijamin, kepentingan individu tunduk
kepada kehendak partai, negara dan bangsa (kolektivisme)
4) Menekankan pada kemerdekaan nasional dan
bebas dari penindasan asing.
5) Kekuasaan dimonopoli dan dilaksanakan secara
sentral dengan partai tunggal. Kekuasaan paksaan yang dilaksanakan oleh militer
dan polisi rahasia lebih menonjol daripada kekuasaan konsensus. Partai
diorganisasi secara hirarkis dan dipimpin oleh sekelompok kecil yang disebut politbiro.
Politbiro dipimpin oleh seorang pemimpin utama. Pemimpin partai sekaligus
bertindak sebagai pimpinan negara dan pemerintahan. Pemimpin utama dan
politbiro inilah yang membuat dan mengorganisasikan pelaksanaan kebijakan umum.
6) Dasar kewenangan pemimpin berupa peranan
sebagai ideologi, yaitu penafsir dalam pelaksana ideologi yang bersifat
doktriner dan eskatalogis. Pada pihak lain, masyarakat menaati pimpinan partai
dan pemerintahan, atas dasar karena dipilih oleh anggota konggres sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan partai, dan juga karena mereka memiliki kewenangan
untuk menggunakan kekuasaan paksaan.
7) Pemerintah yang dikelola oleh partai tunggal
mengendalikan kegiatan ekonomi dalam koordinasi unit ekonomi maupun dalam
pengadaan barang dan jasa. Kecuali itu, juga dalam kegiatan memproduksi maupun
distribusi barang dan jasa. Kegiatan ekonomi yang merupakan prakarsa individu
dan swasta di larang.
2) Sistem Politik Fasis
Adapun ciri-ciri sistem politik fasis
sebagai berikut (Herqutanto Sosronagono, 1984):
a) Dasar ideologinya adalah sosialisme nasional.
b) Membangun negara yang maju berdasarkan
superioritas di atas negara-negara lain.
c) Mempersatukan kaum industrialis dan tuan
tanah serta pemilik modal di bawah kekuasaan negara yang disebut Sinkrasi.
d) Memelihara ketentaraan yang kuat dan besar
bagi keperluan penaklukan negara lain.
e) Pemerintahan dijalankan secara diktator di
bawah seorang diktator.
f) Kekuasaan bersifat totaliter.
g) Menolak kesamaan derajat dan martabat manusia
(rasialisme).
h) Menyusun imperium untuk tidak tergantung
kepada bangsa lain (imperrialis).
i) Pola perilaku penguasa berdasarkan
kebohongan propaganda dan kekerasan untuk mencapai tujuan.
j) Menentang ukum internasional dan tata tertib
dunia.
k) Wanita dianggap warga negara kelas 2, karena
tidak sekuat pria untuk ber-perang.
3. Sistem
Politik Demokrasi
Ciri-ciri
sistem politik demokrasi sebagai berikut:
1) Persamaan kesempatan politik bagi individu
dijamin dengan hukum. Ini berarti setiap individu memiliki kebebasan untuk mengejar
tujuan hidupnya. Oleh karena itu setiap individu harus menggunakan kesempatan
politik itu dengan menggabungkan diri kedalam organisasi sukarela untuk
bersama-sama mempengaruhi pemerintah agar membuat kebijakan yang menguntungkan
mereka.
2) Menekankan persamaan kesempatan ekonomi
daripada pemerataan oleh pemerintah. Ini berarti setiap individu bebas mencari
dan mendayagunakan kekayaan sepanjang dalam batas-batas yang disepakati
bersama, seperti persaingan bebas yang wajar, undang-undang anti monopoli, dan
peka pada lingkungan hidup.
3) Faktor yang mempersatukan masyarakat adalah
bersatu dalam perbedaan. Contohnya, Unity in diversity untuk Amerika Serikat,
Bhineka Tunggal Ika untuk Indonesia. Ini
berarti masyarakat tetap dijamin untuk tetap mempertahankan keterikatannya pada
identitas seperti suku, daerah, ras, agama, dan adat-istiadat. Bersamaan itu,
masyarakat semua penduduk mempunyai keterikatan pada suatu dasar dan tujuan
yang sama. Dasar yang sama itu berupa keterikatan pada lembaga demokrasi, saling
percaya, kesediaan hidup berdampingan secara rukun dan damai, dan kesediaan
berkompromi dan bekerja sama.
4) Adanya distribusi kekuasaan yang relatif
merata diantara kelompok sosial dan lembaga pemerintahan (legislatif,
eksekutif, dan yudikatif). Hal ini akan menimbulkan persaingan dan saling
kontrol antara kelompok sosial yang satu dengan yang lain, antara lembaga
pemerintah, dan antara kelompok sosial dengan pemerintah. Tetapi dalam
persaingan itu ada kesadaran bahwa kekuasaan itu hanya sebagai sarana untuk
mewujudkan kesejahteraan umum, sehingga ada kesediaan untuk berkompromi dan
bekerjasama.
5) Prinsip kewenangan dan legitimasi bersifat
prosedural (rule of law) yang diatur dalam konstitusi. Ini berarti penguasa
mendapat kewenangan berdasarkan konstitusi dan masyarakat menaatinya karena
penguasa dipilih atau diangkat berdasarkan prosedur yang ditetapkan dalam
konstitusi atau peraturan perundang-undangan.
6) Pemerintah dan swasta ikut ambil bagian
secara aktif dalam kegiatan ekonomi dan pemilikan barang dan jasa.
Apabila
diperhatikan mengenai ciri-ciri sistem politik demokrasi tersebut diatas, maka
tampak bahwa setiap warga negara/masyarakat dijamin oleh hukum untuk
menggunakan kebebasan dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik agar
menguntungkan kepentingannya. Di pihak lain apabila dalam proses mempengaruhi
itu terjadi konflik dengan kelompok lain/pemerintah, maka harus bisa
diselesaikan berdasarkan prinsip untuk kepentingan umum/kesejahteraan
masyarakat. Sehingga kebijakan publik yang dihasilkan adalah hasil kompromi
dari berbagai kepentingan kelompok yang ada. Oleh karena itu, sistem politik
demokrasi sering dinyatakan sebagai sistem politik yang memelihara keseimbangan
antara konflik dan konsensus. Ini berarti konflik bukanlah sesuatu yang dilarang
atau dibenci dalam sistem politik demokrasi. Dalam sistem politik demokrasi
konflik merupakan sesuatu yang fungsional atau bermanfaat sebagai perwujudan
upaya mewujudkan kepentingan masyarakat yang pluralis. Agar konflik itu
bermanfaat yang diperlukan adalah mengelola konflik agar bisa diselesaikan
dengan konsensus secara alamiah atau sukarela atas dasar pertimbangan untuk
mewujudkan kepentingan bersama bukan karena ada penekanan atau pemaksaan.
Pengelolaan konflik yang demikian, akan menghasilkan rasa kebersamaan yang
sejati (tidak semu) yang merupakan faktor penting bagi persatuan bangsa.
Perbedaan Sistem Politik
Pada
era perang dingin terjadi ketegangan antara negara-negara blok Barat yang
menganut sistem politik demokrasi dengan negara-negara blok Timur yang menganut
sistem politik otoriter/totaliter. Setelah runtuhnya US (Uni Soviet) yang
menandai usainya era perang dingin, maka AS menjadi satu-satunya negara super
power. “AS selalu menyatakan bahwa pertarungan terbesar abad kedua puluh adalah
antara kebebasan dan totaliterisme dan dimenangkan secara meyakinkan oleh
kekuatan kebebasan, demokrasi, dan pasar bebas” (Kompas 7 Februari 2005).
Tetapi apabila memperhatikan perilaku AS dengan mengirim pasukan ke Irak dan
menggulingkan Saddam Husein, sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi yang
tidak mentolirer pemaksaan kehendak.
Menurut
ilmuwan politik AS Samuel P. Huntington (dalam Robert Bartley, et.al, 1994)
mengemukakan bahwa sebenarnya ada perbedaan sistem politik demokrasi antara
negara-negara di Barat (AS dan Eropa). Perbedaan itu diantaranya adalah pada
gagasan pengawasan dan penyeimbangan (checks dan balances) Di Eropa, teori
demokrasi dan gerakan-gerakan demokrasi menantang gagasan pengawasan dan
penyeimbangan. Di AS gagasan itu dikaitkan secara integral sebagai cara yang saling melengkapi untuk membatasi
kemungkinan terjadinya konsentrasinya kekuasaan. Meskipun kedaulatan di tangan
rakyat dan tidak dalam organ pemerintah, tetapi despotisme demokrasi (democratic
despotism), tirani mayoritas, ditakuti persis sebesar ketakutan rakyat akan
tirani dalam sistem monarki atau aristokrasi. Karena perbedaan ini meskipun AS
dan Inggris sama-sama negara yang menganut sistem politik demokrasi, tetapi
menerapkan sistem pemerintah yang berbeda. Inggris menerapkan sistem
pemerintahan parlementer dan AS dengan sistem pemerintahan presidental.
Identitas demokrasi AS terletak pada kredo (paham, kepercayaan) yang berupa:
kebebasan, individualisme, liberalisme, dan kesamaan. Kredo tersebut oleh James
Bryce (Robert Bartly, et.al, 1994) pada tahun 1890-an diringkaskan unsur-unsur
utamanya sebagai berikut:
1. Masing-masing individu memiliki hak-hak
suci.
2. Sumber kekuasaan politik adalah rakyat.
3. Semua pemerintahan dibatasi oleh hukum dan
rakyat.
4. Pemerintah lokasi harus didahulukan
dibandingkan dengan pemerintahan pusat.
5. Kelompok mayoritas lebih bijaksana
dibandingkan dengan kelompok minoritas.
6. Semakin sedikit campur tangan pemerintah
semakin baik.
Dengan
demikian perbedaan dalam implementasi sistem politik demokrasi antara suatu
negara dengan negara lain merupakan sesuatu yang wajar. Perbedaan itu terutama
terjadi karena perbedaan latar kebudayaan dan kondisi sosial-ekonomi. Namun
yang terpenting perbedaan dalam penerapan sistem politik demokrasi,
prinsip-prinsip atau nilai-nilai dasar demokrasi yang bersifat universal
seperti: kebebasan, persamaan, penghormatan terhadap HAM, dan prinsip negara
hukum, kepentingan umum rakyat, jangan sampai dikorbankan karena alasan
perbedaan budaya dan sosial ekonomi. Dengan kala lain perbedaan itu semata-mata
pada cara atau teknik bagaimana mewujudkan sistem politik demokrasi, bukan pada
nilai-nilai dasar atau substansi demokrasi yang memang bersifat universal.
Misalnya, konsensus dalam pengambilan keputusan dalam sistem politik demokrasi
merupakan substansi, karena merupakan perwujudan penegakkan terhadap nilai
kebebasan, persamaan, HAM dan kepentingan umum. Sistem politik demokrasi ala
Amerika dalam pengambilan keputusan untuk mencapai konsensus, dilakukan dengan
cara teknik suara terbanyak (voting). Sistem politik demokrasi Pancasila untuk
mencapai konsensus dalam pengambilan keputusan, dilakukan dengan mengupayakan
lebih dulu musyawarah mufakat, jika tidak tercapai baru melalui suara terbanyak
(voting). Dengan pemahaman yang demikian, maka akan terdapat saling menghargai
perbedaan sistem politik antara negara yang satu dengan negara yang lain.
C. PERAN SERTA DALAM SISTEM POLITIK DI
INDONESIA
Menurut Alfian (1992) salah seorang ilmuwan politik terkemuka
Indonesia “Intisari sistem politik demokrasi terletak pada pengakuan, dan
pelaksanaan pengakuan itu, bahwa kekuasaan politik sebenarnya berada di tangan
anggota-anggota masyarakat atau rakyat”. Ini berarti ketika suatu sistem
politik itu masih mencerminkan pengakuan dan pelaksanaan kekuasaan politik
semacam itu, maka sistem politik itu masih layak dianggap sebagai demokrasi,
walaupun di sana-sini masih terlihat berbagai kekurangan dan kelemahan.
Pengembangan
demokrasi di Indonesia dalam tataran pengakuan sangat kuat, tatapi sangat lemah
dalam pelaksanaan. Dalam pelaksanaan kadar kekuasaan politik pada rakyat masih
rendah. Oleh karena itu yang terpenting dalam pengembangan demokrasi di
Indonesia bagaimana mengembangkan kekuasaan politik pada rakyat semakin kuat,
dan pada pihak lain bagaimana mencegah berkembangnya anti demokrasi
(pengurangan atau penghapusan kekuasaan politik rakyat), serta melakukan
pembatasan kekuasaan pemerintah.
Demokrasi
di Indonesia memang masih dalam proses pencarian bentuk. Dengan kata lain di
Indonesia sekarang ini yang terjadi baru pada tahap demokratisasi (proses
menuju demokrasi). Tidak mengherankan apabila dalam pelaksanaan kehidupan
politik riil, ada tarik menarik antara kadar bobot kekuasaan politik rakyat
dengan kadar kekuasaan politik penguasa. Misalnya, di Indonesia pernah
berkembang demokrasi liberal, di mana kadar kekuasaan politik rakyat cenderung
menguat. Pada perkembangan berikutnya, yakni pada waktu bekembangnya demokrasi
terpimpin dan Demokrasi Pancasila, kadar kekuasaan politik rakyat sangat
rendah, sebaliknya kadar kekuasaan politik penguasa sangat kuat.
Dalam
pemerintahan Orde Baru yang menyatakan mengembangkan Demokrasi Pancasila, elit
penguasa berperan sebagai pelaku utama kontrol dan pengawasan terhadap proses
politik dalam masyarakat. Hal ini tampak pada peran birokrasi bail sipil dan
militer yang sangat menonjol. Terutama militer yang bersama-sama dengan kaum
teknokrat memiliki pengaruh besar dalam pengelolaan sosial, ekonomi dan politik
baik pada tingkat nasional maupun lokal. Para pengamat politik Indonesia pada
umumnya sepakat bahwa birokrasilah yang menjadi tulang punggung utama sistem
politik Orde Baru sehingga disebut sistem politik birokratik (bureaucratic
politiy) (A.S. Hikam, 1999). Pengembangan sistem politik birokratik ini, dapat
menciptakan pemerintahan yang stabil dan mampu memelihara integrasi nasional
sebagaoi landasan pembangunan tetapi dengan menekan kekuatan-kekuatan
demokrasi. Seperti penerapan kebijakan perampingan partai politik, depolitisasi
masa lapis bawah, pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional, dihapuskannya
pluralisme ideologi dengan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kita
juga dipertontonkan adanya pelarangan, pembatasan-pembatasan terhadap mereka
yang dicap radikal atau membahayakan kepentingan nasional. Seperti yang
diterapkan pada individu maupun kelompok seperti bekas tokoh partai terlarang
(PKI, Masyumi, PSI), mantan Tapol/Napol, kelompok Islam garis keras, warga
negara nonpribumi, khususnya Cina, dan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai
kelompok yang berbeda/berseberangan dengan kehendak penguasa Orde Baru.
Individu maupun kelompok tersebut di atas, harus selalu diwaspadai karena
berbahaya atau merupakan penyakit bagi stabilitas nasional. Bahkan kalau perlu
tidak sekedar diwaspadai tetapi diberantas. Dalam rangka melakukan kewaspadaan
ini, cara yang dilakukan misalnya dengan memberlakukan litsus, screening, wajib
lapor, KTP bertanda khusus, dan lain-lain. Jika dianggap perlu praktik-praktik
seperti penghilangan atau penculikan serta penyiksaan pun akan dilaksanakan.
Pembangunan
yang dilakukan oleh Orde Baru dibawah kontrol penguasa yang sangat kuat,
ternyata memiliki titik lemah. Titik lemah itu tidak hanya demokrasi menjadi
tidak bekembang, tetapi titik lemah itu juga karena utang luar negeri menjadi
andalan utama biaya-biaya pembangunan. Sritua Arief (A.S. Hikam, 1999) salah seorang
pakar ekonomi politik Indonesia memberikan kritik, bahwa utang luar negeri
telah membuat Indonesia mengalami “Fisher Paradox”, yaitu situasi di mana
semakin banyak cicilan utang luar negerinya. Hal ini disebabkan karena cicilan
plus bunga lebih besar dari nilai uang baru, maka terjadi “net transfer”
sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing. Dengan
demikian menurut Sritua Arief, Indonesia sebenarnya terjebak dalam lingkaran
ketergantungan kepada pihak asing.
Dewasa
ini pada era reformasi perkembangan demokrasi sering diistilahkan masih pada
tataran prosedural (demokrasi prosedural). Dikatakan masih pada tataran
demokrasi prosedural, karena prosedur-prosedur dalam proses politik demokrasi
memang telah ada dan dilaksanakan. Misalnya, pemilu sudah dijalankan untuk
memilih legislatif (DPR/DPRD atau DPD) dan pemilu Presiden secara langsung
(tidak dipilih lagi melalui legislatif/MPR) untuk pertama kali dilaksanakan
pada pemilu 2004, tetapi pemilu itu belum dibarengi dengan mental yang
demokratis. Misalnya, dalam pemilu masih terjadi hal-hal sebagai berikut:
pemalsuan ijazah oleh caleg, intimidasi, brutalisasi/penganiayaan, politik
uang, manipulasi suara, masih adanya aparat pemerintah menggiring pemilih untuk
memilih partai politik tertentu (birokrasi tidak netral secara politik).
Begitu
pula legislatif sebagai perwakilan politik (DPR/DPRD) dan perwakilan fungsional
(DPD) telah melakukan fungsi legislatif dan kontrol terhadap eksekutif, tetapi
baru bersifat prosedural. Kita bisa melihat pada perilaku mereka (wakil rakyat)
belum benar-benar memperjuangkan aspirasi-aspirasi rakyat atau konstituennya
(para pemilihnya). Mengapa, hal itu terjadi? Penjelasan atas pertanyaan ini
bisa dengan menggunakan teori model perwakilan. Dikenal 4 model perwakilan
dalam suatu sistem politik, yaitu (1) model wali; (2) model delegasi; (3) model
instrumen partai; (4) model instrumen pemerintah (A.S.Hikam, 1999).
Pertama,
yaitu model wali (pengampu) dari konstituen para wakil memandang dirinya bebas
atau terikat (independensi) secara mutlak dan tidak terkait dengan kepentingan
yang diwakilinya (konstituen). Sebagai wali, mereka dapat melakukan proses
pengambilan keputusan tanpa lebih dahulu mendapat kesepakatan dari yang
diwakili dan karenanya merasa tidak perlu bertanggung jawab atas
tindakan-tindakannya kepada si terwakil. Mereka berkeyakinan bahwa hanya
merekalah yang tahu apa yang terbaik untuk kepentingan publik.
Kedua,
model delegasi. Dalam model ini para wakil adalah instrumen untuk menyampaikan
aspirasi para konstituen yang karena kondisi geografis dan demografis yang
sangat besar tidak memungkinkan melakukan proses artikulasi kepentingan secara
langsung. Untuk menentukan siapa yang menjadi wakil, dilakukan melalui proses
seleksi dan pemilu. Konsekuensinya, sikap dan tindakan para wakil senantiasa
dalam pengawasan rakyat. Posisi para wakil tergantung kepada pemilih, karena
pemilih dapat mencabut kembali pilihannya apabila para wakil kurang mampu atau
menyalahi aturan yang disepakati/janji ketika kampanye pemilu. Namun dalam
perkembangannya, para wakil tidaklah hanya menuruti kemauan secara membabi
buta. Mereka memiliki otonomi dalam menerjemahkan aspirasi dan kepentingan yang
dianggap baik untuk kepentingan seluruh rakyat di dalam dewan perwakilan yang
kemudian akan mereka pertanggungjawabkan kembali. Hal ini penting agar wakil
rakyat tidak terjerumus ke dalam diktator mayoritas.
Ketiga,
model instrumen partai. Dalam model ini para wakil lebih merupakan instrumen
partai. Meskipun mereka mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi sebenarnya
lebih bertanggung jawab kepada partai dan melayani aspirasi partai. Partai
memiliki oronomi yang sangat kuat dalam menggariskan kepentingan-kepentingan
apa yang harus diperjuangkan di lembaga perwakilan. Partai memiliki hak untuk
menarik kembali (recalling) wakil-wakil yang tidak sejalan dengan garis partai.
Para pemilih yang tidak puas, hanya memiliki kesempatan pada masa pemilu untuk
menolak calon-calon wakil yang diajukan partai.
Keempat,
model instrumen pemerintah. Dalam model ini para wakil merupakan kepanjangan
tangan kepentingan pemerintah yang berkuasa. Meskipun secara formal menyatakan
dirinya sebagai wakil rakyat yang memilihnya melalui pemilu, tetapi sebenarnya
mereka hanya sebagai tukang stempel dari pemerintah. Posisi pemilih sangat
lemah bahkan sama sekali tidak dipedulikan (teraliensi) dari proses pembuatan
keputusan/kebijakan publik di dewan perwakilan. Hanya pemerintahlah yang tahu
yang baik atau yang penting bagi rakyat, rakyat hanya sebagai penonton dalam
peraturan politik.
Dengan
demikian pengembangan demokrasi di Indonesia, sampai saat ini masih pada tahap
demokratisasi. Bagaimana sikap yang seharusnya ditampilkan oleh warga negara
dalam menghadapi perkembangan demokratisasi ini? Untuk mewujudkan demokrasi
masih perlu kerja keras dengan senantiasa membuka diri untuk melihat
kelemahan-kelemahan selama ini, terutama pada mentalis penyelenggara negara,
politisi maupun warga negara. Mentalis yang berkembang di Indonesia seperti
tampak pada pemikiran, sikap dan perilaku (budaya) baik pada penguasa,
politisi, dan warga negara masih banyak bertentangan dengan demokrasi.
Misalnya: (1) sikap politik konservatif yang tidak berkehendak menerima
perubahan-perubahan ke arah lebih maju; (2) sikap politik reaksioner, yaitu
menentang segala kebijakan yang datang dari luar kelompoknya meskipun kebijakan
tersebut baik; (3) perilaku anarkis, yakni bertindak bebas tidak mau terikat
oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat; (4) sikap saling curiga yang
berlebihan sehingga mudah terprovokasi, yang pada akhirnya menimbulakn konflik
sosial yang banyak meminta korban harta dan jiwa serta mengancam disintegrasi
bangsa; (5) ada kecenderungan dalam masyarakat kita ketika menghadapi berbagai
persoalan termasuk masalah demokrasi mengatasinya cukup dengan berbicara,
padahal tanpa diikuti aksi, maka demokrasi hanya sebatas menjadi wacana; dan
(6) seperti yang dinyatakan Bung Hatta, proklamator negara tercinta, bahwa
demokrasi baru akan terwujud apabila ada penegakkan hukum. Padahal dewasa ini
kita rasakan bersama bahwa penegakkan hukum di negara kita sangat lemah.
Demokrasi yang menghendaki adanya kebebasan, persamaan, HAM, dan perubahan
kehidupan bernegara secara tertib dan damai serta beradab, jaminan itu hanya
dapat diwujudkan ketika hukum ditegakkan. Itulah beberapa pemikiran, sikap, dan
perilaku yang tidak menunjang pengembangan demokrasi.
Pertanyaan
selanjutnya yaitu sikap apa yang dapat menunjang pengembangan demokrasi di
Indonesia? Sikap positif warga negara yang dianggap penting dan dapat menunjang
pengembangan demokrasi di Indonesia diantaranya adalah adanya kepercayaan (trust)
dan komitmen terhadap demokrasi. Kepercayaan terhadap demokrasi dimaksudkan
bahwa dalam diri setiap warga negara ada kepercayaan bahwa dirinya mampu
mempengaruhi sistem politik demokrasi yang ada untuk dapat memenuhi
harapan-harapan atau kepentingan-kepentingannya maupun kepentingan
kesejahteraan masyarakat. Sedangkan yang dimaksudkan komitmen bahwa pada diri
warga negara memiliki keterikatan yang kuat bahwa dalam mengatasi berbagai
persoalan terutama dalam kehidupan publik akan diselesaikan sesuai dengan
prinsip-prinsip atau nilai-nilai dan cara-cara demokrasi. Kedua sikap di atas
(kepercayaan dan komitmen), dapat digolongkan pada sikap politik yang rasional
dan proporsional. Sikap politik yang rasional dan proporsional merupakan sikap
positif terhadap pengembangan demokrasi, karena sikap politik ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut (A. Husein, 2003):
1. Mendasarkan pada moralitas dan integritas;
2. Mendasarkan pada kepentingan bangsa dan
negara;
3. Mendasarkan pada kesejahteraan rakyat;
4. Mendasarkan pada etika, kepatutan dan hati
nurani.
Dengan
sikap politik rasional dan proporsional, maka dapat mendorong penegakkan hukum,
dan akan dapat mencegah berkembangnya perilaku anarkis, otoriterisme, sikap
politik reaksioner, dan sikap politik konservatif.
Bagi
setiap warga negara perlu memberikan penghargaan (apreasiasi) terhadap sistem
politik demokrasi Pancasila. Apresiasi terhadap sistem politik demokrasi
Pancasila, merupakan salah satu perwujudan dari sikap politik yang rasional dan
proporsional. Karena sikap politik ini, tidak akan menimbulkan sikap yang
merendahkan sistem politik demokrasi Pancasila dimungkinkan muncul pada diri
warga negara, ketika melihat bahwa dalam kehidupan politik senyatanya masih
jauh dari sikap yang mencerminkan pelaksanaan sistem pelaksanaan demokrasi
Pancasila. Namun karena sikap yang rasional dan proporsional, maka seorang warga
negara juga akan melihat sisi kelebihan serta menyadari bahwa untuk mewujudkan
sistem politik demokrasi Pancasila memerlukan proses yang panjang. Yang
terpenting demokratisasi terus diupayakan secara terus menerus dan
berkesinambungan.
Kelebihan
sistem politik demokrasi Pancasila, adalah merupakan produk para bapak pendiri
negara (founding fathers), terutama dalam memberikan sifat yang melekat pada
sistem politik demokrasi secara umum. Dalam sistem politik demokrasi secara
umum, rakyat diberikan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan dan pelaksanaan
keputusan politik. Baik keputusan politik yang berupa kebijakan publik, yaitu
program kegiatan untuk mewujudkan tujuan yang menyangkut kepentingan umum,
maupun keputusan politik yang berupa penentuan pejabat sebagai pelaksana
kebijakan publik. Misalnya, rakyat diberikan kesempatan untuk mempengaruhi
pembuatan dan pelaksanaan daerah dan memilih kepala daerah
(gubernur/bupati/wali kota).
Keputusan
politik yang dihasilkan oleh sistem politik demokrasi Pancasila harus sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila seperti tercermin dalam ke
lima sila Pancasila yaitu meliputi nilai: religius, kemanusiaan, persatuan,
demokrasi, dan keadilan sosial. Kelima sila Pancasila adalah merupakan satu
kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisahkan antara sila satu dengan lainnya,
serta tersusun secara hirarki piramida adalah merupakan konsep orisinil bangsa
Indonesia. Ini berarti nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila secara
terpisah-pisah memang dapat ditemukan pada bangsa-bangsa lain di dunia, tetapi
sebagai nilai yang merupakan kesatuan yang utuh dan tersusun secara hirarki
piramida adalah merupakan ciri khas Pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia. Seperti hal ini dinyatakan oleh Alfian (1992), salah seorang pakar
politik terkemuka Indonesia yang menyatakan keorisinilan Pancasila sebagai
ideologi bangsa Indonesia terletak pada tiga kenyataan di bawah ini:
1. Bangsa Indonesia sendiri yang memilih sila
dari dalam dirinya;
2. Bangsa Indonesia pula yang memutuskan
urut-urutan kelima sila itu sebagaimana sekarang;
3. Bangsa Indonesia mempersiapkan kelima sila
itu sebagai satu rangkaian kesatuan yang utuh, bukan terpisah-pisah.
Nilai
Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh juga digambarkan oleh Bung Hatta,
yang menyatakan bahasa sila pertama dan sila kedua merupakan funda-mental
moral, dan sila ketiga, keempat dan kelima merupakan fundamental politik,
sehingga pelaksanaan kehidupan politik di Indonesia telah memiliki dasar moral
yang kokoh. Dengan demikian seharusnya praktik-praktik politik yang sejalan
dengan sistem politik demokrasi Pancasila adalah yang religius dan humanis.
Perlunya
apresiasi terhadap sistem politik demokrasi Pancasila ada pada setiap warga
negara, karena dalam kenyataan empirik demokratisasi tampak semakin menguat.
Indikasi demokrasi seperti yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl ahli politik
yang mengkaji secara mendalam mengenai demokrasi bisa kita jumpai di lapangan
meskipun masih perlu disempurnakan. Dahl, memberikan indikasi adanya demokrasi
oleh:
1. Ada jaminan bahwa kebijakan publik dibuat
sesuai dengan kepentingan masyarakat.
2. Pemilihan umum yang diselenggarakan secara
berkala, bersifat bebas dan adil;
3. Hak untuk memilih;
4. Hak untuk menduduki jabatan publik;
5. Masyarakat punya kebebasan untuk memperoleh
hak-haknya: berekspresi dan berpendapat;
6. Masyarakat punya akses terhadap sumber
informasi alternatif;
7. Masyarakat bebas membentuk/bergabung dengan
organisasi manapun.
Perkembangan
demokrasi di Indonesia, apabila diperhatikan secara seksama, meskipun dalam
praktik masih banyak kelemahan, tetapi pada setiap periode perkembangan
demokratisasi menunjukkan kemajuan-kemajuan yang memberikan optimisme. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh:
1. Penghapusan fraksi TNI dan Polri di
DPR/MPR;
2. Adanya pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung;
3. Adanya DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang
merupakan perwakilan rakyat sebagai representasi geografis/wilayah provinsi di
parlemen yang akan menjamin semua kepentingan provinsi dalam keputusan
nasional, hukum-hukum, dan Anggaran Belanja Nasional;
4. Berkembangnya sistem multipartai (peserta
Pemilu 1999 diikuti sekitar 48 partai politik, Pemilu 2004 diikuti 24 partai
politik). Hal ini menunjukkan adanya jaminan kebebasan berorganisasi yang
tinggi;
5. Adanya kebebasan pers yang semakin menguat
dengan ditandai penghapusan Departemen Penerangan. Departemen Penerangan selama
ini ditakuti oleh kalangan pers karena memiliki kewenangan untuk melakukan
pembredelan pers yang tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah;
6. Partisipasi perempuan dalam politik semakin
meningkat, misalnya dengan adanya ketentuan masing-masing partai politik
peserta pemilu untuk memenuhi quota 30% calon legislatif dari perempuan.
7. Adanya yudicial review oleh MK (Mahkamah
Konstitusi) yang merupakan kewenangan MK untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar dan kewenangan lain seperti memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Kewenangan-kewenangan MK tersebut sangat penting untuk mencegah adanya lembaga
negara yang dapat mendominasi lembaga negara yang lain (superbody) sehingga
dapat untuk mengupayakan berkembangnya pengawasan dan penyeimbangan (check and
balance).
8. Berkembangnya lembaga kontrol terhadap
pemerintah dari masyarakat/LSM, seperti: ICW, Kontras, Elsam, Cetro, dan
lain-lain.
Dengan
melihat adanya kelembagaan politik dan upaya-upaya yang dilakukan oleh
masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintah sebagaimana
digambarkan di atas, hal ini menunjukkan bahwa demokratisasi telah berkembang
dalam kehidupan politik nasional. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk tidak
memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan demokrasi Pancasila. Apresiasi itu
dapat dilaksanakan misalnya, dengan memberikan penguatan terhadap proses
demokratisasi dan berpartisipasi untuk mengatasi kendala yang dapat merusak penguatan
demokratisasi. Apresiasi yang demikian sangat penting agar pengembangan
demokrasi Pancasila, tidak mengalami kemunduran ke arah otoriterisme seperti
pada masa sebelum era reformasi.
Partisipasi Politik Sesuai dengan Aturan
Gabriel
A. Almond (dalam Mochtar Mas’oed, 1981) salah satu pakar politik terkemuka
membagi bentuk politik menjadi konvensional (yang lazim dipraktikkan dalam
masyarakat) dan nonkonvensional (tidak lazim dipraktikkan dalam masyarakat).
Ini berarti bentuk partisipasi politik konvensional pada umumnya merupakan
bentuk partisipasi politik yang legal (sesuai dengan aturan) maupun yang dipraktikkan
dalam kehidupan masyarakat dan diterima sebagai sesuatu yang lazim meskipun
tidak secara tegas diatur dalam aturan perundang-undangan yang ada. Dalam tabel
kedua bentuk partisipasi politik itu dapat dilihat sebagai berikut:
Contoh Bentuk Partisipasi Politik Konvensional,
al:
- Pemberian suara (voting);
- Diskusi politik;
- Kegiatan kampanye;
- Membentuk dan bergabung
- dalam kelompok kepentingan;
- Komunikasi individual denganpejabat politik dan administratif.
Contoh Bentuk Partisipasi Politik Nonkonvensional,
al:
- Pengajuan petisi;
- Berdemonstrasi;
- Konfrontasi;
- Mogok;
- Tindak kekerasan politik terhadap harta benda (perusakan, pemboman, pembakaran);
- Tindak kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan);
- Perang gerilya dan revolusi.
Pemberian suara,
merupakan bentuk partisipasi politik yang paling luas tersebar. Misalnya, dalam
Pemilu 2004 di Indonesia jumlah pemilih terdaftar 148.000.369 (yang menggunakan
hak 124.420.339 orang dan pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak
23.580.030); membutuhkan 2.194.155 kotak suara dan tempat pemungutan suara
(TPS) sebanyak 565.286 buah; Bahkan pemberian suara terdapat di hampir semua
sistem politik, baik yang demokratis maupun yang otoriter. Hanya saja pemberian
suara dalam sistem politik otoriter, dimaksudkan hanya sekedar untuk legitimasi
dan mempertahankan kekuasaan (status quo) dari pemerintah yang sedang berkuasa
dan di bawah tekanan/intimidasi penguasa. Sehingga pemberian suara lebih
merupakan mobilisasi dari penguasa, daripada atas dasar kesadaran/sukarela dari
para pemilih. Sedangkan dalam sistem politik demokrasi pemberian suara
dimaksudkan untuk melakukan perubahan, sesuai dengan masyarakat yang dinamis
dan dilaksanakan atas dasar sukarela/tanpa paksaan.
Diskusi
politik, tukar pikiran tentang masalah-masalah publik (menyangkut kehidupan
bersama), untuk dicarikan pemecahannya yang secara langsung berpengaruh
terhadap kebijakan publik. Misalnya, diskusi mengenai masalah KKN, penggusuran
PKL, pelanggaran HAM, Pilkada, Fungsi TNI, Fungsi Polri, kenaikan BBM,
penegakkan hukum dan sebagainya.
Kegiatan
kampanye dalam pemilu, misalnya: mengikuti kampanye dialogis, mengikuti rapat
umum partai, ikut menyebarkan bahan kampanye (poster, kaus, bendera) kepada
umum, pemasangan alat peraga pemilu, dan kegiatan kampanye yang lain yang tidak
melanggar peraturan perundang-undangan.
Membentuk
dan bergabung dengan kelompok kepentingan, misalnya: ikut membentuk organisasi
sosial-keagamaan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan sebagai upaya
memperjuangkan kepentingannya kepada pemerintah, menjadi anggota dari salah
satu organisasi sosial-keagamaan. Sedangkan yang dimaksud mengadakan komunikasi
individual dengan pejabat politik dan administratif, misalnya: mendatangi
anggota parlemen untuk menyalurkan aspirasinya, mendatangi wali kota/bupati,
camat, kepala dinas untuk menanyakan/mengusulkan sesuatu yang menyangkut
masalah publik.
Petisi
dan demonstrasi seperti terlihat dalam tabel adalah masuk dalam bentuk partisipasi
politik nonkonvensional, tetapi dalam perkembangannya di Indonesia kini telah
diakui sebagai bentuk partisipasi politik konvensional. Petisi, merupakan
pernyataan suatu kelompok mengenai pemikiran atau sikap tertentu yang
disampaikan secara tertulis (surat) yang dikirim langsung ke parlemen dan/atau pemerintah,
contoh: Petisi 50, Petisi ini didirikan tahun 1980 dengan tokoh terkemukanya
Ali Sadikin, dan salah seorang penandatanganannya adalah A.H. Nasution, telah
menulis lebih dari 170 surat kepada parlemen, pemerintah guna menyerukan
reformasi politik (Cholisin, 2002). Demonstrasi, merupakan bentuk penyampaian
pendapat di muka umum yang dilaksanakan dengan cara unjuk rasa. Unjuk rasa
merupakan protes, terhadap berbagai kebijakan publik yang dirasakan atau
dinilai tidak sejalan dengan kepentingan para demonstran atau kepentingan lebih
umum/publik dengan cara-cara damai dan tertib. Misalnya, protes terhadap
lambannya/kurang seriusnya pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pemerintah
yang benar-benar bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dengan cara
mendatangi istana kepresidenan, gedung parlemen, kantor gubernur dan
bupati/wali kota.
Konfrontasi,
digolongkan sebagai bentuk partisipasi politik nonkonvensional, karena dalam
memperjuangkan aspirasi dilakukan dengan cara-cara tidak mengindahkan pandangan
dan hak pihak lain. Dengan kata lain pihak lain diposisikan sebagai lawan yang
harus tunduk untuk mengabulkan aspirasinya. Jadi dalam konfrontasi tidak
dikenal kompromi tetapi merupakan penaklukan. Tentunya, cara ini merupakan
sesuatu yang tidak lazim dalam negara demokrasi.
Mogok,
merupakan partisipasi politik yang berisikan protes atau tuntutan terhadap
suatu kebijakan publik tertentu. Misalnya, para mahasiswa melakukan mogok makan
sebagai protes tindakan aparat keamanan yang menahan teman-temannya ketika
melakukan demonstrasi dan akan mengakhiri mogok makan apabila para temannya
dibebaskan. Contoh lain, para buruh suatu industri melakukan mogok kerja,
sebagai protes karena gaji mereka dibawah UMR (Upah Minimum Regional), mereka
akan mengakhiri mogok kerja sampai pemerintah daerah dapat menekan pengusaha
untuk memenuhi gaji sesuai dengan UMR. Bentuk partisipasi politik dalam bentuk
mogok, dapat mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan misalnya terganggungya
kesehatan (seperti dalam kasus mogok makan), dan tidak lancarnya proses
industri (seperti dalam kasus mogok kerja), sehingga dapat dinyatakan ada
sisi-sisi yang dapat mengganggu ketertiban umum. Oleh karena itu, digolongkan
pada bentuk partisipasi politik nonkonvensional. Namun dalam kenyataan empirik
di Indonesia mogok sering muncul sebagai bentuk partisipasi politik.
Tindak
kekerasan politik, dapat berupa kekerasan terhadap harta dan manusia. Tindakan
kekerasan politik pada umumnya bersifat episodik atau bahkan kronis. Di negara
yang maju seperti Amerika Serikat, juga pernah terjadi kekerasan politik,
seperti pembunuhan terhadap Presiden John F. Kennedy, Martin Luther King,
Robert Kenedy, dan kerusuhan-kerusuhan berdarah yang lain. Yang termasuk tindak
kekerasan politik, diantaranya adalah: (1) huru-hara (riot) yang merupakan
demonstrasi dengan menggunakan kekerasan fisik seperti perusakan dan
pembakaran. Kasus Mei 1998 di Indonesia dapat dimasukkan dalam huru-hara; (2) kudeta,
yaitu pergantian kelompok penguasa secara mendadak dengan kekerasan atau tidak
konstitusional. Kudeta dapat bersifat berdarah dan tak berdarah. Ciri kudeta
adalah dilakukan sekelompok kecil, keputusannya secara rahasia, dan diorganisir
secara gelap dan berkomplotan; (3) teror, merupakan tindakan berasal dari suatu
kekecewaan atau keputus asaan, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman tak
berkemanusiaan dan tak mengenal belas kasihan terhadap kehidupan dan
barang-barang dan dilakukan dengan cara melanggar hukum.
Perang
gerilya dan revolusi Perang gerilya itu atau serangan bersenjata dimaksudkan
untuk melemahkan atau menghancurkan kekuasaan kelompok lain, dengan jalan
pertumpaha darah. Gerakan-gerakan separatis untuk memisahkan diri dari suatu
negara dapat dicontohkan sebagai gerilya. Revolusi, merupakan kegiatan untuk
melakukan perubahan drastis terhadap nilai-nilai dan sistem pemerintahan yang
ditandai dengan kekerasan internal. Ciri umum revolusi menurut Edward dan Mayer
adalah:
1. Terdapat keresahan umum;
2. Sifat buruk, dan tak bermoral, kebobrokan
moral merajalela dalam masyarakat;
3. Meluasnya frustasi, hidup tertekan, tidak
menyenangkan, dan meningkatnya sifat tidak toleran;
4. Tumbangnya suatu rezim lama;
5. Suatu periode kacau balau;
6. Terbentuk suatu orde yang baru atau sistem
politik yang baru.
Bentuk-bentuk
partisipasi politik nonkonvensional tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dan
sifatnya bertentangan dengan sendi-sendi demokrasi yang menjunjung HAM,
menghormati aturan main, setiap keputusan bersama harus dilakukan dengan
konsensus, perubahan yang terjadi harus tertib dan damai. Oleh karena itu,
setiap warga negara harus menghindarkan diri untuk melakukan partisipasi
politik nonkonvensional. Bentuk partisipasi politik nonkonvensional berkembang
diantaranya karena faktor tidak responsifnya pemerintah atas aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat. Untuk itu, pemerintah juga harus mengembangkan
pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat. Dengan kata lain
pemerintah harus konsisten mengembangkan sistem politik demokrasi. Begitu pula
dalam kenyataan pemerintah juga sering melakukan tindakan kekerasan terhadap
warga negaranya yang melakukan partisipasi politik secara konvensional, hal ini
sering memicu tindakan kekerasan balasan dari masyarakat terhadap aparat
pemerintah/keamanan. Oleh karena itu untuk menghindari hal ini, maka dalam
menghadapi masalah politik perlu mengedepan-kan pendekatan persuasif (dialog
atau penyadaran) daripada pendekatan represif (pelarangan dan penggunaan
kekerasan fisik), yang memang merupakan model pendekatan yang dituntut dalam
negara demokrasi.
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya: gootickapparel.com
ReplyDeleteMau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya: weedhus.com