Lembaga-lembaga Negara Sesuai atau Menurut UUD 1945, Negara Indonesia menganut kedaulatan Rakyat. Bagaimana kedaulatan rakyat dilaksanakan? Karena rakyat sebagai pemegang kedaulatan, bukan berarti rakyat melaksanakannya dengan sekehendaknya sendiri, tetapi harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” Siapa saja atau lembaga negara apa saja yang diberi kepercayaan atau mandat oleh rakyat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat? Menurut undang-undang, dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat yang berupa pembuatan peraturan undang-undangan (legislatif) dan pelaksanaannya (esektutif) diberikan pada lembaga negara.
Di Indonesia untuk membuat peraturan perundang-undangan dipercayakan kepada MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR/DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah),. Lembaga-lembaga negara itu dikenal sebagai lembaga legislatif (pembuat undang-undang). Sedangkan untuk melaksanakan undang-undang dipercayakan kepada presiden. Presiden dikenal sebagai lembaga eksekutif (pemerintah). Untuk pemerintah daerah provinsi dilaksanakan oleh gubernur, pemerintah kabupaten/kota oleh bupati/walikota, dan pemerintahan desa oleh lurah desa. Tetapi dalam menentukan siapa-siapa yang menjadi anggota DPR/DPRD, DPD, presiden dan wakil presiden, rakyatlah yang menentukan dalam suatu pemilihan umum secara langsung. Misalnya pada Pemilu 2004 untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden dalam satu pasangan dipilih secara langsung. Begitu pula dengan pemilihan anggota DPD. Sebelum tahun 2004 presiden dan wakil presiden Indonesia dipilih oleh MPR. Selain itu saat ini pemilihan kepala daerah (pilkada) pun dilakukan secara langsung. Pilkada adalah untuk memilih secara langsung gubernur dan bupati/walikota. Sebelumnya gubernur dan bupati/walikota dipilih oleh DPRD. Berikut ini uraian singkat tentang Lembaga Negara sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
6. Komisi Yudisial (KY)
Lembaga Komisi Yudisial (KY) ini dibentuk guna mengawasi perilaku para hakim dan praktik kotor dalam proses penyelenggaraan peradilan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen), kedudukan Komisi Yudisial ini bersifat mandiri yang keberadaannya dibentuk dan diberhentikan oleh Presiden dengan adanya persetujuan DPR.
Tujuan dibentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah:
• Mendapatkan calon Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di MA dan hakim di seluruh badan peradilan sesuai kebutuhan dan standar kelayakan.
• Mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim.
• Peningkatan kepatuhan hakim terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
• Terwujudnya kepercayaan publik terhadap hakim.
• Meningkatkan kapasitas kelembagaan Komisi Yudisial yang bersih dan bebas KKN.
Sementara menurut A. Ahsin Thohari dalam bukunya Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut:
• Lemahnya pengawasan secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena pengawasan hanya dilakukan secara internal saja.
• Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power).
• Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.
• Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
• Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Sedangkan tujuan pembentukan Komisi Yudisial menurut A. Ahsin Thohari adalah:
• Melakukan pengawasan yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya pengawasan secara internal saja. Pengwasan secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
• Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis nonhukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
• Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekrutmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.
• Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
• Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekrutmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.
Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial
Sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang sebagai berikut:
• Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
• Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
• Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
• Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Tugas Komisi Yudisial
Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, maka Komisi Yudisial mempunyai tugas:
• Melakukan pendaftaran calon hakim agung;
• Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
• Menetapkan calon hakim agung; dan
• Mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
• Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
• Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
• Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
• Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
• Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
• Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;
• Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.
• Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat negara, terdiri dari 7 orang (termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap Anggota). Anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Lembaga BPK ini menjadi lembaga negara yang memegang kekuasaan dalam bidang auditor. BPK tentu mempunyai tugas utama dalam memeriksa dan mengelola keuangan negara. Hasil pemeriksaan lembaga BPK akan diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Anggota lembaga BPK dipilih oleh DPR dan diresmikan oleh Presiden. Lembaga BPK berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsinya.
BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Wewenang BPK
Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang:
• menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan;
• meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara;
• melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara;
• menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK;
• menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
• menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
• menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK;
• membina jabatan fungsional Pemeriksa;
• memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan
• memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah.
Keanggotaan BPK
BPK mempunyai 9 orang anggota, dengan susunan 1 orang Ketua merangkap anggota, 1 orang Wakil Ketua merangkap anggota, serta 7 orang anggota. Anggota BPK memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Ketua dan Wakil Ketua BPK dipilih dari dan oleh Anggota BPK dalam sidang Anggota BPK dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diresmikannya keanggotaan BPK oleh Presiden. Ketua dan Wakil Ketua BPK terpilih wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.[5]
Syarat Keanggotaan
• Untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
• warga negara Indonesia;
• beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
• berdomisili di Indonesia;
• memiliki integritas moral dan kejujuran;
• setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
• berpendidikan paling rendah S1 atau yang setara;
• tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih;
• sehat jasmani dan rohani;
• paling rendah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun;
• paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara; dan
• tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
No comments
Post a Comment